REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mujiyanto
Pernahkah kita berpikir untuk apa segala kenikmatan yang kita cari setiap hari dengan membanting tulang? Tanpa peduli siang dan malam, sampai-sampai meninggalkan keluarga? Akankah semua itu akan menyertai kita selamanya?
Fakta menunjukkan, tak ada yang abadi di dunia ini. Segala kenikmatan bisa lenyap seketika. Kekayaan, kedudukan, kecantikan, ketampanan, ketenaran, kecerdasan, dan sebagainya bisa diambil kembali oleh Sang Maha Pemberi, Allah SWT. Pinjaman Allah itu akan diminta kembali bila Sang Pemilik ingin mengambilnya.
Sayang, banyak orang yang terpedaya dengan kehidupan dunia. Seolah-olah dunia merupakan segalanya. Saking terpananya dengan bayangan dunia, sampai-sampai banyak orang melupakan tempat untuk masa depannya yang abadi, yakni akhirat. Mereka melupakan dan menyia-nyiakan nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya.
Padahal, Allah kelak akan mempertanyakan semua kenikmatan yang telah diberikan kepada hamba-Nya. “Kemudian, kamu pada hari itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh kenikmatan (yang telah diberikan kepadamu).” (QS at-Takatsur [102]: 8)
Nantinya akan ditanyakan untuk apa nikmat-nikmat yang Allah SWT berikan, seperti umur, waktu, harta, jabatan, kecantikan, kecerdasan, ilmu, dan lain-lain digunakan? Untuk taat kepada-Nya atau justru untuk melanggar ketentuan-Nya? Semua itu akan dipertanyakan oleh Sang Maha Pemberi.
Mungkin, semasa di dunia manusia bisa berdalih. Namun, di akhirat? Mulut manusia dikunci, tanpa bisa berkata sepatah kata pun.
Justru, tangan berbicara. Kemudian, kaki-kaki menjadi saksi di hadapan Allah SWT atas seluruh tindakan yang pernah kita lakukan di dunia (QS Yasin [36]: 65). Tidak ada sedikit pun kebohongan di hadapan-Nya.
Maka, orang yang berhasil mengelola kenikmatan dari Allah SWT merupakan orang yang pandai bersyukur. Sebab, pada hakikatnya syukur adalah menampakkan nikmat dengan menggunakannya pada tempatnya serta sesuai dengan kehendak pemberi. Sebaliknya, terdapat pula orang yang kufur nikmat, yaitu menyia-nyiakan dan melupakan nikmat Sang Maha Pemberi.
Alhasil, kenikmatan bisa menjadi ladang pahala bagi orang-orang yang menyadari hakikat pemberian Sang Khalik kepadanya. Mereka akan menggunakan nikmat itu dalam koridor perintah dan larangan-Nya.
Tak mungkin orang yang paham terhadap hakikat kenikmatan dunia akan mengejar jabatan yang haram untuk diduduki, menggunakan kecerdasannya untuk korupsi, serta memamerkan auratnya untuk mencari rezeki.
Tidak mungkin pula orang seperti itu menggunakan mulutnya untuk mengucapkan janji palsu dan kata-kata kotor kepada manusia lainnya, serta menggunakan kedudukannya untuk menzalimi rakyat, dan sebagainya.