REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG- Kasus kematian gajah Sumatera kembali terjadi. Hingga Februari 2015 ini, tercatat empat gajah Sumatera mati karena perburuan.
Hal tersebut dipaparkan Direktur Komunikasi dan Advokasi World Wild Fund (WWF) Indonesia, Nyoman Iswarayoga saat ditemui dalam acara #NasibGajah di Taman Film, Bandung. Nyoman mengatakan, pada 2014 sebanyak 145 ekor gajah Sumatera mati. "80 persen itu terjadi karena perburuan," ucapnya, Minggu (15/2).
Menurut Nyoman, warga membunuh gajah Sumatera untuk diambil gadingnya yang kemudian dijual ke mancanegara. Cara pembunuhan pun beragam. "Kami sering menemukan plastik bekas racun dalam perut gajah, peluru, dan banyak bekas luka senjata tajam," ujarnya.
Nyoman memprediksi, bila kasus ini tak diusut tuntas, dikhawatirkan 10 hingga 15 tahun mendatang gajah bisa punah. Padahal, menurut Nyoman, gajah termsasuk spesies yang memiliki masa reproduksi cukup lama. "Gajah itu baru bisa melakukan reproduksi pada rentang usia 10 hingga 20 tahun, dan masa kehamilannya 10 bulan," kata Nyoman.
Oleh karena itu, Nyoman dan kawan-kawannya di WWF Indonesia memiliki beberapa program dan kerja sama dengan pemerintah untuk menekan jumlah kematian gajah Sumatera. "Kami bekerja sama dengan pemerintah untuk menata ruang habitat gajah, mendekati perusahaan-perusahaan agar mereka mau menaati prinsip yang ada," ucapnya.
Prinsip tersebut salah satunya dengan lahan perusahaan. Bila sebuah perusahaan memiliki 1000 hektare hutan, maka perusahaan tersebut harus menyisakan lahan yang terkategori konservasi tinggi. "Misalnya ada 200 hektare lahan yang terdeteksi memiliki jumlah fauna tinggi, maka jangan ditebang," ujarnya.
Selain bekerja sama dengan pemerintah, Nyoman mengatakan, WWF Indonesia juga memiliki program sendiri, salah satunya flying squad. Flying squad ini melatih masyarakat di suatu daerah untuk mengurangi konflik satwa liar dengan manusia. "Jadi, kalau ada gajah yang masuk di pemukiman, cara mengusirnya bukan dengan membunuh, tapi menggunakan cara yang lebih bijak," katanya.
Nyoman juga menuturkan, pembuatan acara #NasibGajah ini juga termasuk salah satu program untuk mengedukasi dan menyadarkan masyarakat untuk peduli dengan populasi gajah Sumatera. "Di sini terdapat sembilan karya seni visual yang menggambarkan kondisi gajah Sumatera saat ini," ujarnya.
Karya seni tersebut dibuat oleh sekumpulan pemuda Bandung yang ingin menyampaikan pesan-pesannya pada masyarakat. Beragam karya dipamerkan di Taman Film ini, seperti patung gajah yang terbuat dari gelas mineral dan karung goni, lukisan, paper craft, dan film dokumenter.
Salah satu peserta pameran seni #NasibGajah, Rizqia Sadida mengatakan, paper craft yang ia buat selama dua minggu ini menggambarkan tentang perjalanan gajah dan penyebab utama ancaman terhadap gajah. "Bila dikeker pada tiap kotak, akan menjelaskan ternyata selama ini manusia menjadi ancaman utama gajah," ucap Rizqia.
Penggambaran lain mengenai gajah juga dipaparkan Bonaputro dan Rahayu Retnaningrum. Mereka membuat delapan kotak yang semua sisinya dilukis wajah gajah dengan bentuk topeng yang berbeda-beda. Dari karyanya ini, Bona mengatakan, ingin memberikan kritikan kecil pada masyarakat yang selama ini hanya peduli dengan budayanya sendiri. Padahal, gajah Sumatera bukan hanya milik masyarakat Sumateta, tapi seluruh rakyat Indonesia.
"Kami memilih gambar topeng karena banyak orang yang mengetahui permasalahan gajah Sumatera, tapi seolah tidak peduli, seperti sedang mengenakan topeng," ucap Bona.
Memberikan edukasi melalui karya seni visual seperti ini mendapat respon positif dari pengunjung. Salah satunya, Dea Azalia, mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Dea mengatakan, ia menyukai semua pameran yang ditampilkan, tapi ia menilai karya Bona lebih menarik dibandingkan lainnya.
"Ada pesan tersirat yang disampaikan pelukisnya. Saya rasa kita tidak hanya melestarikan gajah saja, tapi secara tidak langsung melestarikan gajah juga termasuk dalam melestarikan budaya," ujar Dea.