REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Solahuddin Wahid meminta partai politik di Indonesia menjalankan "Risalah Yogyakarta", yang merupakan hasil Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6. Risalah yang dimaksud adalah seruan kepada penyelenggara negara dan kekuatan politik mengembangkan politik berakhlakul karimah.
Pria yang akrab disapa Gus Solah itu menilai, nyaris semua partai politik tidak memenuhi harapan publik, termasuk umat Islam. Hal ini, kata Gus Solah, tampak jelas dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak kompeten dalam melanjutkan tugasnya.
"Menjadi anggota DPR hanya karena popularitas, atau membeli suara di KPU. Juga sebagian bertujuan tidak idealis, melainkan lebih kepada mencari pekerjaan, materi yang besar. Hampir semuanya begitu," ujarnya saat dihubungi Republika, Ahad (15/2).
Karenanya, lanjut Gus Sholah, urgensi Risalah Yogyakarta terletak pada bentuk keprihatinan akan kondisi moral perpolitikan nasional. Sebab, kata Gus Solah, sulit menafikan ada begitu banyak politikus yang justru tidak melakukan apa yang seharusnya, yakni memperjuangkan kepentingan bangsa, termasuk di dalamnya umat Islam, sebagaimana tujuan bernegara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
"Kita tidak memungkiri, partai-partai tidak melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Mungkin, itulah salah satu alasan, mengapa Kongres Umat Islam menyampaikan itu (Risalah Yogyakarta)," jelasnya.
Terkait dugaan renggangnya hubungan antara ormas dan partai Islam, Gus Sholah meragukannya. Sebab, dalam pandangan tokoh NU ini, pihaknya tidak merasakan adanya kerenggangan itu. Partai-partai semisal PPP atau PKB, kata Gus Solah, masih cukup dekat insan-insan politikusnya dengan NU.
"Ya, saya tidak tahu (ormas-ormas) yang lain. Tapi tentunya, partai itu tidak hanya dengan ormas, melainkan rakyat seluruhnya. Mereka kan dewan perwakilan rakyat, bukan dewan perwakilan ormas. Jadi ukurannya, memperjuangkan kepentingan rakyat," katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 yang digelar di Yogyakarta, menghasilkan tujuh poin komitmen bersama yang disebut "Risalah Yogyakarta".
Pada butir ke-2 Risalah Yogyakarta berbunyi, menyeru penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) dan kekuatan politik nasional untuk mengembangkan praktik politik yang ber-akhlaqul karimah dengan meninggalkan praktik politik yang menghalalkan segala cara, dengan menjadikan politik sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, keamanan dan kedamaian bangsa.