Senin 16 Feb 2015 12:51 WIB
Penembakan Muslim Amerika

Lamban Berikan Komentar, Obama Dinilai Kurang Peka Perasaan Muslim AS

Rep: C84/ Red: Winda Destiana Putri
Presiden Obama
Foto: Reuters
Presiden Obama

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lambannya Presiden Amerika Serikat (AS) dalam mengeluarkan pernyataannya terkait serangan terhadap tiga mahasiswa Muslim di North Carolina, AS, dinilai Teuku Rezasyah, pengamat hubungan luar negeri, dapat menimbulkan interpetasi buruk di mata dunia khususnya umat Muslim.

Obama sendiri baru mengeluarkan pernyataan empat hari setelah tragedi itu terjadi. Berbeda saat insiden Charlie Hebdo di Paris beberapa waktu lalu, presiden AS ini langsung mengeluarkan pernyataan kerasnya hanya beberapa jam setelah kejadian.

Menurut Reza, Obama mendapat kesulitan karena ingin mendapat kejelasan yang valid atas informasi yang beredar di media-media setempat.

Kata dia, terkadang media-media AS lebih cepat mendapatkan informasi daripada Kepolisian setempat, FBI, dan CIA. Enggannya, ketiga lembaga tersebut berbagi data, semakin menyulitkan Obama dalam membuat pernyataannya.

Namun, tetap saja, Reza menilai, lambannya Obama mengeluarkan pernyataan atas terbunuhnya tiga mahasiswa Muslim ditanggapi sinis oleh masyarakatnya yang kritis dan menganggap Obama hipokrit.

Ia pun menyayangkan sikap Obama yang dianggap kurang peka dengan perasaan kaum minoritas seperti Muslim di AS. "Bukankah Obama juga datang dari kalangan minoritas," kata Reza kepada Republika, Senin (16/2).

Menyikapi lambannya media-media barat khususnya AS dalam pemberitaan tragedi Chapel Hill, Reza mengatakan ini menjadi peringatan bagi masyarakat dunia khususnya negara-negara berkembang.

Kata dia, untuk mendapatkan informasi yang adil, negara-negara berkembang harus membangun suatu media massa yang seimbang dan independen, serta tidak selalu bergantung dengan media-media asing seperti BBC, AFP, dan Reuters.

Reza menilai kurang baik rasanya jika mendapatkan informasi tentang negara-negara berkembang lewat perspektif dunia pertama.

"Semakin jauh dari sumber informasi maka semakin besar distorsi yang terjadi," lanjutnya.

Namun, untuk negara-negara berkembang memiliki sebuah media massa sendiri tentu tidak mudah. Pada 1985 saat KTT GNB di Jakarta, sudah ada rencana untuk membangun sebuah media massa yang independen, namun minimnya keuangan serta terbatasnya SDM yang memadai menjadi hambatan untuk mewujudkan hal ini.

Memiliki sebuah media massa yang besar dan independen tentu akan membuat kita semakin vokal di dunia internasional.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement