REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat politik, Heri Budianto, menilai opsi melantik Komjen Polisi Budi Gunawan sebagai kapolri lebih ringan risiko politiknya dibandingkan membatalkan pelantikannya karena sudah ada persetujuan DPR dan putusan hukum praperadilan yang mengabulkan gugatan BG.
"Menurut saya, saatnya presiden bersikap dengan mempertimbangkan risiko politik paling sedikit," kata Heri yang juga sebagai Direktur Eksekutif PolcoMM Institute, di Jakarta, Senin (16/2).
Ia menjelaskan, keputusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menerima permohonan Komjen Budi Gunawan sudah tentu menimbulkan pro dan kontra terkait pelantikan BG. Jika presiden melantik pascakeputusan praperadilan ini, maka sudah pasti ada yang akan bersuara lantang mengkritik Presiden Jokowi. Namun sebaliknya, jika presiden tidak melantik maka beban politik presiden akan semakin berat, kata Heri.
"DPR pun akan bersuara lantang jika presiden tak melantik BG. Sebab proses politik di DPR sudah berlangsung. Dan praperadilan sudah ada keputusan," paparnya.
Jika tak melantik, lanjut dia,?maka presiden akan mengalami risiko politik lebih berat karena akan berhadapan dengan DPR. DPR akan semakin mendesak Jokowi untuk melantik. Terlebih, sebelumnya Jokowi selalu mengatakan keputusan mengenai status BG menunggu keputusan praperadilan yang diajukan BG selesai sebagai bentuk penghormatan atas proses hukum.
"Jika tidak (melantik BG) konsekuensi politik yang dihadapi presiden justru akan lebih berat. Jika tidak melantik, maka secara politik Jokowi sama saja menantang DPR," tuturnya.
Hakim tunggal Sarpin Rizaldi memutuskan untuk mengabulkan permohonan gugatan praperadilan Budi Gunawan dan menyatakan penetapan tersangka Budi oleh KPK tidak sah. Hakim juga menyatakan Surat Perintah Penyidikan Budi Gunawan nomor 03/01/01/2015 tidak sah.
Hakim Sarpin menyatakan bahwa tindakan penyidikan lebih lanjut yang dilakukan oleh KPK ditetapkan tidak sah berdasar tidak sahnya penetapan tersangka dan surat perintah penyidikan.