REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa pembunuhan terhadap tiga orang Muslim warga Amerika Serikat (AS) di kediaman mereka, kompleks apartemen Summerwalk Circle, Chapel Hill, North Carolina, AS, akhirnya menyita perhatian publik. Sebab, peristiwa yang terjadi pada Selasa (10/2) lalu, itu sempat tidak masuk liputan media Barat mainstream. Tidak seperti, misalnya, insiden Charlie Hebdo di Paris, 7 Januari 2015 silam.
Imam Masjid New York, Imam Shamsi Ali menyatakan, media Barat menerapkan sikap menduadalam menjalankan tugasnya. Imam Shamsi menengarai, pada awalnya media Barat hendak menutup-nutupi pemberitaan tentang insiden Chapel Hill dari publik.
"Secara umum, memang ada double standard media dalam menyikapi peristiwa penembakan Paris dan Chapel Hill. Sejak awal media tampak menyembunyikan pembunuhan tersebut," kata Imam Shamsi Ali dalam keterangan tertulis yang diterima Republika di Jakarta, Senin (16/2)/
Dia mengatakan, media Barat bahkan lebih lamban daripada sejumlah netizen. Mereka, dengan akun media sosial (medsos) masing-masing, dengan lekas menyebarluaskan informasi tentang tewasnya tiga orang sekeluarga tersebut di tangan pelaku Craig Stephen Hicks (46 tahun).
Atas fakta itu, terkesan media Barat sengaja menunggu informasi tersebut menjadi heboh di dunia maya terlebih dahulu, baru kemudian mewartakan berita. "Hingga media sosial ramai. Bahkan ketika menyiarkan pun, media (Barat) cenderung menggiring untuk menutupi (kesan) bahwa itu pembunuhan (dengan) motif anti-gama," ujar Imam.
Insiden Chapel Hill sendiri membunuh tiga orang Muslim. Yakni, Deah Shaddy Barakat (23 tahun), Yusor Mohammad (21 tahun), dan Razan M Abu Salha (19 tahun). Ketiganya ditembak mati oleh Craig Stephen Hicks dalam suasana eksekusi.