REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Insiden pembunuhan oleh Craig Stephen Hicks (46 tahun) terhadap tiga orang warga Muslim Amerika Serikat (AS) pada Selasa (10/2) lalu menguak wajah mendua Presiden Barack Obama.
Sebab, pemimpin AS itu baru menyatakan kecaman empat hari setelah kejadian. Menurut tokoh Muslim AS, Imam Shamsi Ali, lambannya Presiden AS memuat sikap pilih-pilih terhadap warga negaranya sendiri, terutama yang beragama Islam.
"Lambatnya (Presiden Obama) memberikan pernyataan mengindikasikan, perbedaan sikap ketika hal itu (pembunuhan) terjadi kepada non-Muslim dan kepada Muslim," kata Imam Shamsi Ali dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Senin (16/2) malam waktu Indonesia.
Imam Masjid New York, AS, ini lantas membandingkan Presiden Obama saat menyikapi insiden Charlie Hebdo di Paris, Perancis, pada awal Januari lalu. Para pemimpin Barat, termasuk Presiden Obama sendiri, dalam hitungan jam langsung merespons kejadian itu. Bahkan, Presiden Obama menyebut aksi tersebut sebagai terorisme.
Dalam pandangan Imam Shamsi, insiden Chapel Hill pun mestinya mendapatkan suara respons yang serupa dan kecaman segera dari para pemimpin dunia. Termasuk, dari Presiden Obama sendiri sebagai kepala negara AS. Alih-alih begitu, justru seorang pemimpin Turki lebih lantang bersuara.
"Ketika terjadi penembakan Paris, semua pemimpin dunia mengutuk. Bahkan, pemimpin Muslim (juga) ikut dalam demonstrasi Paris. Tapi ketika penembakan Chapel Hill, hampir tidak ada suara. (Kecuali) hanya segelintir, pemimpin Turki (Presiden Erdogan) salah satunya," ungkap Imam Shamsi Ali.
Dalam insiden Chapel Hill, tiga orang Muslim sekeluarga dibunuh di kediaman mereka sendiri. Mereka, yakni Deah Shaddy Barakat (23 tahun), Yusor Mohammad (21 tahun), dan Razan M Abu Salha (19 tahun). Ketiganya ditembak mati oleh Craig Stephen Hicks dalam suasana eksekusi.