REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menilai Undang-Undang Keistimewaan yang mengatur soal pengisian jabatan gubernur masih diskriminatif karena mengharuskan pencantuman nama istri.
"Kalau Undang-Undang (Keistimewaan) itu mengharuskan mencantumkan nama istri kan berarti Gubernur harus laki-laki, itu diskriminatif," kata Sultan kepada wartawan di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Selasa.
Dalam Undang-undang Keistimewaan (UUK) DIY Nomor 13/2012 Pasal 18 ayat 1 disebutkan bahwa calon gubernur harus mencantumkan daftar riwayat hidup yang meliputi riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak.
Menurut Sultan, Undang-Undang Keistimewaan tersebut seharusnya berlaku adil untuk diterapkan kepada seluruh rakyat Yogyakarta, seperti yang berlaku di provinsi-provinsi lain.
"Sekarang lihat Jawa Tengah, Jawa Timur kira-kira kalau harus disebut istri maka kecenderungannya gubernurnya apa? padahal perempuan kan boleh?. Undang-Undang tidak boleh begitu," kata dia.
Sultan mengingatkan persoalan tersebut tidak perlu dikaitkan dengan keturunan Sri Sultan yang seluruhnya perempuan. Sebab UUK tersebut hanya berkaitan dengan persoalan pengisian jabatan gubernur DIY, bukan tahta Kasultanan Keraton Yogyakarta.
"UUK itu mengatur menjadi gubernur, bukan menjadi sultan lho," kata Sultan menegaskan.
Kendati demikian, Sultan memasrahkan keputusan itu pada DPRD DIY yang sampai saat ini masih mendiskusikan mengenai polemik tersebut. "Terserah DPRD saya tidak ada masalah, saya hanya ingin aturan itu tidak diskriminatif," kata dia.
Sementara itu, ketika dimintai pendapatnya mengenai UUK itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menilai ketika diberlakukan di DIY, ketentuan pengisian jabatan gubernur tersebut tidak diskriminatif, sebab hal itu menyangkut kultur dan sejarah panjang yang dalam perumusannya bukan hanya melibatkan pihak Keraton Yogyakarta, namun juga para sejarawan.
"Diskriminasi bagaimana? memang dibuat seperti itu karena itulah (Yogyakarta) istimewa," kata Ganjar.