REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Ketua Komisi Penyelidikan PBB mengatakan bahwa perlu usaha lebih, termasuk dengan menggunakan balon dan peretas komputer, untuk menyampaikan pesan kepada penduduk Korea Utara soal laporan keadaan hak asazi manusia di negara mereka.
Menurut Michael kriby, pensiunan hakim asal Australia menegaskan, sama sekali tidak bisa diterima jika pihak Korea Utara selalu menyimpan dan merahasiakan laporan komisi bahwa keadaan di negara tersebut sama dengan pelanggaran pada masa Nazi.
Saat berbicara dalam konferensi di Washington pada Selasa (17/2), ia menyampaikan saran pemikir Institut Bush bahwa peretas, balon dan bahkan pesawat nirawak bisa digunakan untuk menyebarkan informasi kepada rakyat Korea Utara.
Kirby yang berbicara di Pusat Studi Strategis dan Internasional, mempertanyakan jika pihak Korea Selatan khawatir kalau penggunaan balon untuk menyampaikan pesan bisa berakibat rusaknya rencana jangka panjang reunifikasi. Cara lain yang juga bisa digunakan untuk menyampaikan laporan PBB soal pelanggaraan hak azasi manusia di Korea Utara menurut Kirby adalah dengan merebut sistem internet negara itu.
"Anda punya ahli paling pintar di dunia. Jangan katakan tidak ada teknologi lain, yang bisa digunakan," kata Kirby kepada rekannya Lee Jung-hoon, duta Korea Selatan untuk urusan hak azasi manusia yang menjadi panelis dalam pertemuan itu.
Menurut Lee, Korea Selatan tidak setuju dengan penggunaan balon, sehingga perlu dicari cara lain untuk menyebarkan informasi ke Korea Utara, termasuk dengan mengirimkan layanan pesan singkat (SMS).
Seoul baru-baru ini berusaha untuk menghalangi para aktivis yang berencana untuk meluncurkan balon berisi selebaran di perbatasan dengan Korea Utara.
Hasil penyelidikan komisi yang dipimpin Kirby diumumkan sejak setahun lalu.
Pada Desember 2014, Sidang Umum PBB mendesak Dewan Keamanan PBB untuk melaporkan Korea Utara ke Mahkamah Internasional atas kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kirby mengatakan, komisi siap untuk berdiskusi dengan pejabat Korea Utara, tapi pihak Korut hanya bersedia untuk "pembicaraan terbatas", sementara Tiongkok sebagai sekutu utama negara komunis itu tidak pernah mengizinkan penyelidik dari PBB untuk berkunjung ke baris perbatasan.
Duta besar Korut untuk PBB menegaskan bahwa mereka tidak takut dengan ancaman akan diadukan ke Mahkamah Internasional karena mereka tidak bersalah dan siap menghadiri pertemuan untuk membela diri.