REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Seorang pengusaha di Bangka Belitung menjadi target hukuman paksa badan penyanderaan (gijzeling) oleh Direktorat Jenderal Pajak karena menunggak kewajban pajak sehingga merugikan negara senilai Rp 3 miliar.
Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Sumatera Selatan dan Bangka Belitung (Sumsel-Babel) Samon Jaya mengatakan selama setahun ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong wajib pajak ini membayar utang pajaknya, namun tidak membuahkan hasil.
"Sama sekali tidak ada iktikad baik dari penunggak sehingga dalam waktu dekat akan disandera," kata Samon, Rabu (18/2).
Kepala Bidang Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat Kantor Wilayah Ditjen Pajak Sumatera Selatan dan Bangka Belitung Fadjar Julianto mengatakan kasus pajak bisa berujung menjadi penyanderaan jika wajib pajak tetap enggan melunasi kewajibannya meski sudah ada surat hutang pajak.
Ia menerangkan penyanderaan menjadi proses berikutnya untuk menumbuhkan kesadaran dari penunggak pajak tersebut. "Jika sudah dikeluarkan surat hutang pajak maka wajib pajak yang bandel boleh disandera dalam masa enam bulan dan bisa ditambah enam bulan lagi. Di sandera ini, hanya hukuman badan, jika membayar langsung dilepas," kata dia.
Ditjen Pajak Sumsel Babel mencatat penerimaan sebesar Rp 10,110 triliun pada 2014 atau tercapai seratus persen dari target sebesar Rp 10,024 triliun. Pada tahun ini, Ditjen Pajak harus bekerja ektra keras karena dibebani target Rp 15,5 triliun atau meningkat 50 persen seiring dengan visi misi Presiden Joko Widodo yang menggenjot penerimaan pajak sekitar 36,91 persen untuk menunjang APBN.
Sebelumnya, Ditjen Pajak Sumsel Babel telah menyandera seorang pengusaha dengan inisal Dj lataran memiliki hutang pajak senilai Rp 1,9 miliar pada awal Februari 2015. Selain itu, Ditjen Pajak Sumsel Babel juga telah melimpahkan berkas penyidikan ke kejaksaan atas nama TE terkait kasus pembuatan faktur pajak fiktif senilai Rp 33 miliar.