REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyesalkan pernyataan Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, yang mengungkit bantuan Australia kepada Indonesia pascatsunami Aceh untuk pembatalan pelaksanaan hukuman mati atas dua warganya dalam waktu dekat.
"Pernyataan Tony Abbott itu patut disesalkan," kata Hikmahanto melalui keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, Tony Abbott memberi persepsi yang salah terhadap bantuan yang diberikan oleh Australia kala itu. Atas pernyataan Abbott itu, Australia seolah tidak tulus dan ikhlas dalam menyampaikan bantuan.
"Bantuan diberikan seolah untuk menciptakan ketergantungan Indonesia terhadap Australia. Dan saat ini ketika ada kepentingan Australia, ketergantungan itu yang digunakan," katanya menyesalkan.
Hal itu dinilai akan menguatkan opini dari publik Indonesia bahwa bantuan dari luar negeri sudah dapat dipastikan terselip kepentingan atau dengan kata lain "tidak ada makan siang yang gratis ('there is no free lunch)".
Selain itu, Tony Abbott juga belum menjabat Perdana Menteri atau pengambil kebijakan ketika Australia memberi bantuan ke Indonesia pascatsunami. Kemungkinan saat itu pemberian bantuan ke Indonesia dilakukan secara tulus.
"Namun sekarang telah disalah-manfaatkan oleh Abbott seolah bantuan tersebut dapat ditukar dengan pembatalan pelaksanaan hukuman mati," tegas dia.
Dia juga menyesalkan dalam pernyataannya Abbott menyatakan ketika Australia memberi bantuan pascatsunami ada warga Australia yang meninggal dunia, sehingga seolah ingin adanya "barter" nyawa.
"Tidak seharusnya nyawa warga Australia yang memberi bantuan di Aceh dibarter dengan nyawa dua warga Australia yang akan menjalani hukuman mati karena melakukan kejahatan yang serius di Indonesia," ujarnya.