REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Seorang perempuan berjilbab keluar masuk sebuah klenteng. Ia hanya memotret, berbicara dengan teman-temannya, lalu menyicipi kue yang disediakan pengurus klenteng. Tidak hanya perempuan menggunakan jilbab itu. Siapa pun boleh masuk klenteng. Tidak harus sembanyang. Asalkan tidak menganggu orang yang sedang beribadah semua orang dipersilakan masuk.
Umat Khong Hu Cu beribadah dengan tenang, tidak ada merasa tergangggu. Tidak harus was-was dibubarkan aparat pemerintah. Bosun Anton Triyono tersenyum melihat ini. Sebagai ketua pengurus Klenteng Eng An Kiong ia merasa masyarakat Indonesia makin toleran dari hari ke hari.
Anton menceritakan betapa dideskriditkan masyarakat Kong Hu Cu pada masa Orde Baru. Dengan pedih ia mengatakan selama tiga puluh dua tahun kediktatoran Soeharto hak sipil masyarakat Kong Hu Cu dibuang. Dan baru kembali ketika Presiden Abdulrahman Wahid mengakui Khong Hu Cu sebagai salah satu agama di Indonesia.
Akulturasi budaya menjadi salah satu corak yang menyatukan masyarakat Tionghoa dengan masyarakat jawa disekitar Klenteng Eng An Kiong. Eng An Kiong bukan hanya milik warga etnis Tionghoa. Namun, sudah menjadi miliknya masyarakat. Masyarakat di sekitarnya sudah menganggap bangunan klenteng itu bagian dari miliknya.
Secara rutin, di sana, ada latihan karawitan. Seperangkat gamelan disiapkan oleh pengurus klenteng. Siapa saja boleh latihan di tempat itu. Hanompramana salah satu pengurus Klenteng mengatakan budaya etnis Tionghoa di Klenteng ini semua sudah membaur dengan budaya Jawa. Praman mengatakan 95% pemain Barongsai di Klenteng Eng An Kiong adalah orang Jawa yang beragama Islam.
Di Klenteng Eng An Kiong juga disediakan kursus Bahasa Mandarin. Siapa saja boleh ikut kursus di sana dengan biaya yang sangat murah. Para peserta kursus ternyata hampir semuanya beretnis Jawa.
Eng An Kiong juga punya klinik, lengkap dengan tiga dokter umum plus para medis. Masyarakat di sekitarnya yang berobat, jika dari kalangan tidak mampu, tidak dipungut biaya. Dia tidak hanya diperiksa penyakitnya, tapi juga diberi obat. Semuanya gratis. Kalaupun harus membayar, sangat murah. Bahkan, jika penyakitnya parah dan harus dirujuk ke rumah sakit, pengurus klenteng lah yang membantu biaya pengobatan warga yang tidak mampu.
Berbagai kegiatan sosial, hampir tidak pernah absen diikuti para pengurus klenteng tersebut. Umat muslim pun sering membantu kegiatan sosial di Klenteng tersebut. Seperti ketika membagikan beras dalam upacara Cio Ko atau Kheng Ho Peng. Barisan Anshor Serbaguna (BANSER) dari Nahdatul Ulama sering kali membantu Klenteng Eng An Kiong membagi beras.
Pramana mengatakan saat ini penganut Khong Hu Cu semakin minoritas pasca Orde Baru. Namun pada zaman pasca reformasi Khong Hu Cu justru semakin diperhatikan. Eksistensi mereka diakui oleh negara maupun masyarakat. Penganut Khong Hu Cu juga ikut andil dalam pluralisme dan dialog antar umat beragama.
“Sekarang ini kami makin dimanusiakan,” kata Pramana.
Pramana menceritakan pada tahun 1970-an Klenteng Eng An Kiong membuat acara pertemuan seluruh klenteng di Jawa Timur. Ia harus menemui Kepala Polisi Wilayah dan Pangdam setempat. Setelah proses yang panjang acara tersebut diizinkan dengan pengawasan yang ketat. Pada saat acara berlangsung pun tindakan reprensif tidak pernah usai.
Namun sekarang tidak pernah terjadi lagi. Untuk merenovasi dan mengadakan acara apa pun Klenteng mendapatkan izin dengan mudah. Tidak dibeda-bedakan dengan pemeluk agama lain. Walaupun masih ada masyarakat yang sinis namun jumlah sangat sedikit. Tidak ada faktor penghalang bagi mereka untuk melakukan ibadah dan upacara.
Pramana menceritakan asal mula Klenteng Eng An Kiong. Klenteng ini dibangun pada tahun 1825, atas inisiatif Kwee Sam Hway. Dia adalah keturunan ketujuh dari seorang jenderal yang hidup di era Dinasti Ming (abad 14-17 M). Ceritanya, kala itu, keturunan sang jenderal diburu dan ditekan oleh Dinasti Jing, sehingga melarikan diri ke Indonesia.
Kala itu, sang kapiten (keturunan kelima jenderal dari Dinasti Ming itu) mendarat di Jepara. Lama tinggal di sana, dia menikah dengan seorang putri yang leluhurnya mendarat di Sumenep. Kwee Sam Hway adalah cucu dari pasangan kapiten tadi. Dari Sumenep, Kwee Sam Hway melakukan perjalanan hingga tiba di Kota Malang. Di tempat inilah, dia lalu membangun Klenteng Eng An Kiong sekitar tahun 1825 (satu versi menyebut tahun 1835 M).
Lantaran saat itu penduduk di sekitar klenteng berbasis agraris, di altar induk klenteng ditempatkan patung Dewa Bumi (Hok Ting Cing Sien). Menurut ceritanya, patung itu dibawa dari Cina dengan tandu kayu jati berlapis kertas emas, yang hingga sekarang masih tersimpan di klenteng itu.
Pramana mengatakan masyarakat Tionghoa yang datang ke Indonesia saat itu adalah para ahli bangunan dan kayu. Pramana menjelaskan banyak ukiran di Klenteng Eng An Kiong dibentuk dengan sangat presisi. Kwee Sam Hway mendapat kemampuan pertukangan dari ayah dan kakeknya. Lalu menjadi ahli kayu di Jepara. Sampai kemampuannya dilihat oleh Belanda dan diangkat menjadi kapiten di Malang.
Pramana mengatakan Kwee Sam Hway memiliki kedudukan yang baik di masyarakat. Selain menjadi kapiten ia juga ketua masyarakat Tionghoa di Kota Malang saat itu. Masyarakat Kota Malang pun tidak pernah mempermasalahkan keberadaan Klenteng itu. Kebudayaan Cina dan Jawa membaur. Sampai akhirnya Soeharto berkuasa.