REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, telah mengkonfirmasi bahwa "sempat ada pembicaraan" tentang pengiriman pasukan Australia ke Ukraina. Rencana itu dilakukan Abbott setelah pesawat Malaysia Airlines MH17 ditembak jatuh tahun lalu.
Laporan surat kabar Agustus tahun lalu menyebut, PM Abbott ingin mengirim 1.000 tentara ke lokasi kecelakaan di wilayah sengketa, Ukraina timur, untuk mengambil jasad korban asal Australia.
Menanggapi pertanyaan Oposisi di Parlemen, PM Abbott mengatakan, opsi itu sempat dibahas dengan Pemerintah Belanda "beberapa hari setelah" jatuhnya pesawat.
"Kami berbicara dengan Belanda tentang apa yang mungkin dilakukan dalam keadaan berbahaya itu, karena tentu saja kondisi waktu itu berbahaya. Ada pembicaraan dengan Belanda tentang operasi gabungan," ungkapnya baru-baru ini.
PM Abbott mengatakan, operasi itu bukanlah rekomendasinya ataupun "opsi gegabah" yang diusulkan olehnya.
"Ini muncul dari diskusi paling penting dan paling diperlukan antara militer Belanda dan militer kita sendiri," katanya.
Oposisi juga meminta Tony Abbott untuk mengkonfirmasi laporan lain di surat kabar ‘The Australian’ yang menyebut bahwa ia telah mendorong adanya gagasan untuk mengirim 3.500 tentara Australia untuk menyerang Irak secara sepihak, demi melawan kelompok ISIS, tahun lalu.
PM Abbott lagi-lagi membantah laporan itu.
Ia merujuk Parlemen dengan sebuah pernyataan yang dirilis (23/2) oleh Panglima Tentara Australia, Marsekal Udara Mark Binskin, dan Sekretaris Departemen Pertahanan, Dennis Richardson, yang menyebut "klaim tersebut adalah palsu".
"Perdana Menteri Abbott tak pernah secara formal atau informal, langsung atau tidak langsung, mengangkat ide itu dengan militer dan/atau dengan Departemen Pertahanan,” tulis pernyataan tersebut.
Pada (22/2), Dennis Richardson mengatakan kepada ABC bahwa laporan itu "omong kosong".