REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama mengupayakan penyeragaman awal bulan Hijriyah. Terutama, yang berkaitan dengan bulan-bulan penting, seperti 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzulhijjah. Terakhir, pada Jumat (20/2) lalu, Ditjen Bimas Islam Kemenag mengadakan pertemuan dengan sejumlah pakar astronomi dan ahli ilmu falak.
Menurut Dirjen Bimas Islam, Machasin, hasil pertemuan tersebut mengungkapkan beberapa hal penting. Antara lain, adanya kemungkinan pada tahun ini umat Islam Indonesia tidak bisa merayakan Idul Adha secara serentak, meskipun masih berkemungkinan untuk Idul Fitri dan mengawali puasa Ramadhan serentak.
“Untuk tahun ini, ada potensi 1 Ramadhan dan 1 Syawal bareng. Tapi, untuk 1 Dzulhijjah, ada potensi beda,” ujar Machasin saat ditemui di Kantor Kemenag, Jakarta, Senin (23/2).
Itu didasarkan, lanjut Machasin, pada data dari planetarium dan observatorium Jakarta, yang perwakilannya ikut menghadiri pertemuan pada Jumat (20/2) lalu. Masih merujuk pada data yang sama, untuk rentang tahun 2016-2021, tidak ada potensi perbedaan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Adapun untuk tahun 2022 dan 2025, ada potensi perbedaan awal bulan Dzulhijjah.
“Untuk tahun 2023, ada potensi beda 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah. Dan pada 2024, ada potensi beda 1 Ramadhan,” terang Machasin.