REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat Kemenag, Nur Khazin, menjelaskan, mayoritas kaum Muslim Indonesia masih mengandalkan masing-masing omas-ormas Islam dalam menentukan hari awal bulan Hijriah.
“Padahal, di negara-negara lain tidak seperti itu. Hanya di Indonesia, awal bulan Hijriah tidak merujuk ke pemerintah, tapi ormas-ormas,” ujar Nur Khazin saat ditemui di Kantor Kemenag, Jakarta, Senin (23/2).
Lantaran itu, lanjut Nur, Kemenag sejak 1998 terus berupaya mengajak ormas-ormas Islam mainstream untuk duduk bersama dan membuat kesepakatan. Yakni, agar seluruh umat Islam setidaknya bisa merayakan Idul Fitri, Idul Adha, dan mengawali puasa Ramadhan secara sama serentak.
Meskipun sesungguhnya, kata Nur, kesepakatan demikian sudah ada, yakni, bernama kriteria 2-3-8. Dengan kriteria itu, diharapkan kemungkinan perbedaan awal bulan Hijriah bisa diperkecil.
“Sudah ada kriterianya, 2-3-8. Artinya, ketinggian bulan 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam. Hanya saja, kesepakatan itu di lapangan belum diterapkan sepenuhnya. Karena mereka (ormas-ormas) merasa sistem masing-masing paling tepat,” ungkapnya.
Nur Khazin berharap, seluruh ormas-ormas Islam dapat memercayakan penentuan awal bulan Hijriah kepada pemerintah. Apalagi, kata Nur, sejak tahun 2004 Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
“Seharusnya mereka (ormas-ormas) percayakan kepada pemerintah. Ya, sekarang ini kita sedang terus mengajak lah. Apalagi, kan sudah ada fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2014,” ujarnya.
Kementerian Agama (Kemenag) pada Jumat (20/2) lalu mengundang sejumlah pakar astronomi dan ilmu falak untuk membahas upaya penyatuan penentuan awal bulan Hijriah. Ini sebagai bentuk antisipasi terhadap perbedaan hari awal bulan-bulan penting, seperti 1 Ramadhan, 1 Syawal (Idul Fitri), dan 1 Dzulhijah. Sehubungan dengan itu.