REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pengamat dan guru besar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas (Unand), Saldi Isra menilai penghentian sementara dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menggantinya dengan menunjuk tiga orang pelaksana tugas (Plt) kurang tepat.
"Sebab hal ini dianggap sebagian orang 'mengiyakan' atau 'membenarkan' kriminalisasi yang dilakukan kepolisian kepada dua pimpinan KPK," katanya di Universitas Andalas (Unand), Senin (23/2).
Saldi menilai, sebaiknya Presiden Joko Widodo terlebih dahulu membentuk penyidik atau kelompok independen. Penyidik tersebut, akan bertugas untuk menelisik, apakah langkah hukum yang dilakukan kepolisian kepada Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW) benar secara hukum atau tidak.
"Dan setelah itu (penyidikan) dilakukan, misalnya tindakan (kepolisian) benar, maka pemberhentian sementara bisa dilakukan. Tapi kalau tidak, kan bisa dikeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)," jelasnya.
Ia melanjutkan, Presiden Jokowi dapat memerintahkan kepolisian untuk tidak melanjutkan dengan proses penuntutan. Dikatakannya, hal tersebut juga pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika kasus Cicak vs Buaya jilid satu.
"Sekarang, ketika terjadi hari ini, BW dan AS pasti merasa diperlakukan tidak adil," ujarnya.
Menurutnya akan berbeda halnya jika ada tim independen yang menilai kelayakan atau kebenaran dari proses hukum yang dialami oleh dua orang pimpinan KPK. "Bayangan orang, itu yang akan dilakukan oleh Presiden Jokowi," ucapnya.
Namun, Saldi tetap mengapresiasi keputusan Presiden Jokowi. Menurutnya, paling tidak hal tersebut menjadi nafas sementara KPK untuk menghadapi proses yang tengah terjadi.