REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Ekonomi Kreatif, Triana Munaf mewacanakan penghapusan Lembaga Sensor Film (LSF) dalam sebuah acara di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (24/2), kemarin. Menurut Triana, tugas LSF itu membuat aneh jalan cerita sebuah film. Sehingga, Triana mengusulkan tugas mengawasi film sebaiknya diserahkan ke industri dengan memerhatikan sistem rating.
Menanggapi itu, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak menolak ide tersebut. Menurut Dahnil, negara tidak boleh lalai mengawasi kebebasan berkarya dan berekspresi. Apalagi, perfilman yang masuk dari luar negeri ke Indonesia membawa paham yang boleh jadi bertentangan dengan nilai budaya dan agama bangsa Indonesia.
“Kami tidak sepakat dengan ide itu (penghapusan LSF). Kita sepakat, aktivitas kesenian seperti film mendorong pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia. Tetapi, negara tidak boleh absen mengawasi munculnya karya yang mengganggu harmonisasi kehidupan berbangsa,” kata Dahnil Anzar Simanjuntak dalam pesan singkat yang diterima Republika, Rabu (25/2) di Jakarta.
Dahnil mencontohkan, tidak sedikit film yang memuat konten provokasi kebencian dan pornografi. Apalagi, belakangan pemerintah menyampaikan Indonesia darurat pornografi. Menyerahkan penilaian film-film kepada pasar itu buruk. Sebab, pasar lebih mengutamakan segi laku tidaknya sebuah film, bukan nilai-nilai kebudayaan dan agama yang berlaku di masyarakat.
“Bahkan ada LSF saja banyak karya-karya (film) yang mengandung konten pornografi. Apalagi bila tidak ada LSF. Jadi itu sama sekali ide liberalisasi yang abai etika masyarakat Indonesia,” kata Dahnil.
Sebelumnya, Triana Munaf menyampaikan agar LSF dihapus. “Kalau filmnya hot, ditanya saja, penontonnya usia berapa dan ditetapkan batas usia. Kalau filmnya bagus dan dipotong, kan jalan ceritanya jadi aneh,” kata Triana Munaf, Selasa (24/2) di Depok, Jawa Barat.