REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf sempat mewacanakan penghapusan Lembaga Sensor Film (LSF). Menurut Triawan, tugas LSF membuat antara lain aneh jalan cerita sebuah film.
Sehingga, Triawan mengusulkan, tugas mengawasi film sebaiknya diserahkan ke industri dengan memerhatikan sistem rating.
Terkait dengan itu, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, menolak ide wacana tersebut. Ia sepakat aktivitas kesenian seperti film mendorong pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia. Tetapi, negara tidak boleh absen mengawasi munculnya karya yang mengganggu harmonisasi kehidupan berbangsa.
Apalagi, bagi perfilman yang masuk dari luar negeri ke Indonesia dengan membawa paham yang boleh jadi bertentangan dengan nilai budaya dan agama bangsa Indonesia. “Kami tidak sepakat dengan ide itu (penghapusan LSF). Kita ” ujar dia kepada ROL, Rabu (25/2).
Dahnil mencontohkan, tidak sedikit film yang memuat konten provokasi kebencian dan pornografi. Apalagi, pemerintah sendiri belakangan menyampaikan, Indonesia darurat pornografi.
Karenanya, lanjut Dahnil, menyerahkan sepenuhnya penilaian mengenai film-film kepada pasar berarti buruk. Lantaran, pasar lebih mengutamakan segi laku tidaknya sebuah film, bukan nilai-nilai kebudayaan dan agama yang berlaku di masyarakat.
“Bahkan ada LSF saja banyak karya-karya (film) yang mengandung konten pornografi. Apalagi bila tidak ada LSF. Jadi itu sama sekali ide liberalisasi, yang abai etika masyarakat Indonesia,” pungkas Dahnil Anzar Simanjuntak, Rabu (25/2).
Sebelumnya, Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf, pada Selasa (24/2) menyampaikan agar bisa saja LSF dihapus. Lantas, tugas pengawasan film diserahkan kepada industri dengan memakai sistem pemeringkatan (rating).
“Kalau filmnya hot, ditanya saja, penontonnya usia berapa dan ditetapkan batas usia. Kalau filmnya bagus dan dipotong, kan jalan ceritanya jadi aneh,” kata Triawan Munaf, Selasa (24/2) di Depok, Jawa Barat.