REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Putusan pra peradilan dalam perkara yang diajukan Budi Gunawan (BG) melahirkan perkembangan interpretasi wewenang lembaga praperadilan.
Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Mudzakkir mengatakan semula lembaga praperadilan hanya menguji keabsahan tindakan penangkapan, penahanan, tindakan penyitaan dan pengeledahan.
"Kini melalui putusan praperadilan kasus Budi Gunawan ini lembaga praperadilan menjadi lembaga penguji keabsahan penggunaan wewenang penyidik," katanya dalam diskusi publik 'Membedah Putusan Pra Peradilan Kasus Budi Gunawan' di Yogyakarta, Rabu (25/2).
Mudzakkir mengatakan perubahan intepretasi ini menggembirakan dalam penegakan hukum pidana Indonesia. Sebab intepretasi itu telah merespon norma dasar baru dalam amandemen UUD RI Tahun 1945.
Selain itu, juga gagasan pembentukan lembaga hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluan, serta meningkatkan selektivitas penggunaan wewenang penyidik dan profesionalisme aparat penyidik pada tahap pra-ajudikasi.
Di samping itu, adanya mekanisme kontrol atau pengawasan penggunaan wewenang penyidik dalam proses penyidikan dan meningkatkan atau menguatkan penghormatan terhadap hak-hak tersangka dalam tahap penyidikan sesuai ketentuan pasal 28 A-J Undang-Undang Dasar 1945.
Setiap penggunaan wewenang dilengkapi dengan instrumen obyektif. Sehingga dapat uji secara obyektif melalui lembaga praperadilan. "Hal ini telah meletakan dasar yang kuat dalam penegakan hukum pidana Indonesia yang baik dan benar," katanya.
Sebab, kata Mudzakkir, tahap penyidikan atau pra ajudikasi adalah tahapan yang menentukan seseorang apakah menjadi terdakwa/ terpidana atau tidak. Sedangkan kualitas baik buruknya kualitas penyelenggaraan peradilan pidana ditentukan baik buruknya pra-ajudikasi. Karena itu, katanya, pembaharuan hukum acara pidana sebaiknya diawali dari pembaharuan tahap pra ajudikasi.
"Baik pembaharuan hukum acara pidana melalui intepretasi hukum dalam praktek penegakan hukum, maupun pembaharuan melalui perubahan undang-undang," katanya.