REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat perfilman, Hikmat Darmawan, menilai, selama ini sensor diasumsikan sebagai alat kendali negara atas budaya, salah satunya melalui film.
Menurutnya, hal itu akan sangat merugikan masa depan industri perfilman di Indonesia. Hal tersebut menjadi salah satu alasan banyaknya perdebatan mengenai penghapusan Lembaga Sensor Film (LSF) sejak pertengahan 2000 lalu.
Bahkan wacana ini kembali terdengar setelah Ketua Badan Ekonomi Kreatif (BEKraf), Triawan Munaf, kembali menyinggung masalah penghapusan LSF.
"Semua aspek perkembangan industri film itu sendiri kalau dikendalikan negara, tidak akan diuntungkan," jelas Hikmat, saat dihubungi RepublikaOnline, Rabu (25/2).
Ia juga mengatakan, kendali sensor film tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada negara. Hal tersebut cenderung akan membatasi tidak hanya kreatifitas, tapi juga informasi dan eksplorasi di dunia perfilman.
"Film sebagai media kreasi dan artistik juga mengandung infomasi," ujarnya.
Menurut Hikmat, dalam praktiknya, sensor yang sering terjadi bukan hanya mengenai muatan seksual dan kriminalitas. Sensor juga sering kali berhubungan dengan kenyataan.
"Misalnya, dalam peraturan film pada jaman orba dinyatakan secara tertulis, tidak boleh ada pernyataan jelek atas polisi," kata Hikmat.
Saat ini tidak ada pegangan jelas mengenai sensor itu sendiri. Ketidakjelasan itu, tergambar saat pemerintah meloloskan film 'Mereka Bilang Saya Monyet' miliki Djenar Maesa Ayu yang berorientasi pada kehidupan seksual, tapi mempermasalahkan film 'Buruan Cium Gue' yang sebenarnya tidak berorientasi pada seks.
"Jadi tidak bisa ditebak oleh orang film, mana yang akan disensor dan mana yang tidak," paparnya.