REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Banser Nahdlatul Ulama meminta semua pihak termasuk Komnas HAM atau LSM tertentu agar menghormati hak prerogatif Presiden Joko Widodo dan tidak intervensi dalam memilih calon Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Wakil Komandan Satuan Koordinasi Nasional (Wadansatkornas) Banser NU, Rahmat Hidayat mengatakan tantangan intelijen Indonesia pascareformasi dan "Arab Spring" adalah menghadapi tantangan radikalisasi agama yang semakin massif masuk ke Indonesia dengan memanfaatkan isu kebebasan dan demokratisasi.
Kondisi itu membutuhkan sosok figur kuat yang mampu menggerakkan kekuatan Muslim moderat di Indonesia tentang potensi dan ancaman NKRI.
"Kita butuh figur tokoh intelijen Muslim yang mempunyai reputasi internasional, bisa menggalang potensi umat Islam dan bangsa Indonesia dalam melawan radikalisasi Islam di Indonesia. Tokoh yang mampu membangun dan membawa model Islam nusantara sebagai alternatif budaya global," jelas Rahmat Hidayat di Jakarta, Kamis (26/2).
Ia menilai sosok tokoh NU As'ad Said Ali, yang pengalamannya di dunia intelijen sangat mumpuni serta jaringan Islam moderatnya sangat luas, meski selama ini selalu disudutkan dengan opini tak jelas terkait kasus HAM.
"Saya yakin Presiden Jokowi dengan hak prerogatifnya akan mempertimbangkan sosok As'ad demi kemajuan intelijen Indonesia ke depan," tuturnya