REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat komunikasi politik, Lely Arrianie menilai persoalan yang terjadi pada tubuh Partai Golongan Karya (Golkar) saat ini disebabkan ego politik senior. Ego politik ini akhirnya membuahkan dua kubu yang meruncing demi memperoleh kekuasaan.
"Persoalan Golkar bukan persoalan yang berat, kalau petinggi Golkar bisa memberikan pendidikan kepada kader cara yang ciamik. ini persoalan internal, ini politik para senior," ujar Dosen Pascasarjana Universitas Jaya Baya ini saat dihubungi Republika, Kamis (26/2)
Lely menjelaskan ego politik senior terlihat dari munculnya munas Bali . Banyak pertemuan yang sebelumnya dilakukan oleh kubu munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie. Pertemuan tersebut melibatkan beberapa senior Golkar dan disinyalir membahas tentang deal-deal politik.
Pertemuan tersebut ternyata dirasa tak adil, sebab sebagian orang yang merasa berdarah-darah dalam memperjuangkan Golkar tidak dilibatkan. Akhirnya mereka membuat Munas baru di Ancol, Jakarta.
Melihat peta gerakan yang seperti ini Lely menilai, jika para senior bisa menurunkan ego dan melakukan komunikasi yang baik antar satu dengan yang lainnya, Golkar tidak terpecah."Kalau perselisihan ini dibiarkan, Golkar akan hancur, kini Golkar sekarat," tambah Lely.
Apalagi, tambah Lely sebagian kader Golkar merasa Munas Bali melanggar AD/ART. Ditambah, adanya sistem pemilihan dengan aklamasi, kalau aklamasi itu sendiri, orang yang merasa dibayar dan dikondisikan untuk menyukseskan aklamasi tersebut jadi tidak berani tidak memilih.
Praktek kepentingan pribadi inilah yang menurut Lely harus dibuang. Golkar sebagai partai yang memiliki sejarah panjang dan track record yang dikenal masyarakat luas harusnya tidak terjebak dalam konflik kepentingan internal seperti ini.