REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika
Salah satu elemen dasar kesejahteraan rakyat Indonesia, adalah ketersediaan rumah. Hal itu dijamin dalam UUD 1945, dan juga program Nawacita pemerintahan Jokowi-JK. Sayangnya, pemerintah sepertinya kurang berkomitmen menjaga amanah itu.
Terbukti, kebutuhan rumah bagi keluarga di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun, tidak diikuti dengan penyediaan rumah, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Mudah ditemui pasangan rumah tangga yang sudah bertahun-tahun menikah, masih menumpang bersama orang tua atau hanya sanggup mengontrak secara bulanan atau tahunan.
Bukannya responsif terhadap masalah itu. Malahan, kalau melihat trend belakangan ini, pemerintah terkesan kurang perhatian dengan adanya kekurangan pasokan rumah (backlog) yang jumlahnya mencapai belasan juta unit.
Meski ada yang merilis data jumlah backlog baru sekitar 13,5 juta, namun data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) menunjukkan jumlah 15 juta rumah. Angka itu naik drastis dibandingkan pada 2004 sebanyak 7 juta unit, dan 11 juta rumah pada 2009.
Melebarnya jumlah backlog terjadi lantaran kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan rumah tidak tertangani dengan baik. Menyikapi fakta itu, pemerintah semestinya melakukan intervensi kebijakan. Tidak semata intervensi, pemerintah juga harus melakukan terobosan kebijakan dengan belajar dari pemerintahan sebelumnya.
Mengapa? Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), selama 10 tahun terakhir, tiga Menpera, yaitu Muhammad Yusuf Asy'ari (2004-2009), Suharso Monoarfa (2009-2011), dan Djan Faridz (2011-2014), yang bekerja di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I dan II terbukti tak mampu menekan angka kekurangan pasokan rumah.
Dikhawatirkan, kalau Menteri PUPR Basuki Hadimuljono hanya bertindak sama, seperti pejabat sebelumnya, diprediksi backlog akan semakin tinggi. Dia juga harus mengevaluasi kebijakan pendahulunya, mengapa pembangunan rumah meleset dari target.
Padahal, era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mencanangkan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dan program pembangunan 1.000 tower rumah susun sederhana milik (rusunami) di Ibu Kota. Nyatanya, realisasinya jauh di bawah 50 persen, lantaran banyak menemui kendala di lapangan.
Kondisi itu jelas membuat kita miris, dan menjadi bertanya-tanya tentang tindakan konkret yang bakal dilakukan pemerintah saat ini. Untuk itu, pemerintah mesti berupaya keras untuk mengejar ketertinggalan penyediaan rumah, terutama di kota besar berupa pembangunan rumah susun (rusun). Pasalnya, masalah yang muncul di kota besar, apalagi Ibu Kota cukup kompleks. Selain ketersediaan lahan yang semakin sulit dicari, harga rumah juga semakin melangit.
Mengurai permasalahan backlog
Kalau Menpera PUPR Basuki Hadimuljono secara resmi hanya menargetkan pembangunan sejuta rumah per tahun, Presiden Jokowi malah membuat target ambisius. Jokowi bertekad ingin membangun dua juta dalam waktu setahun demi mengurangi backlog rumah lebih cepat.
Sayangnya, keinginan Jokowi itu terkesan tidak realistis. Bahkan, secara gamblang Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Indonesia (Apersi) menilai program itu hampir mustahil terwujud.
Selain soal kemampuan membangun rumah dan ketersediaan lahan, juga kendala dana minimal Rp 100 triliun yang wajib disediakan pemerintah apakah sudah ada? Pertanyaan selanjutnya, kalau enggan merevisi target, dari mana pemerintah bisa memperoleh dana sebesar itu dalam waktu cepat?
Ketua Umum Apersi Eddy Ganefo menyatakan, anggaran untuk membangun satu juta rumah itu minimal Rp 50 triliun. Sementara, anggaran yang disediakan pemerintah untuk menunjang program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) alias rumah bersubsidi hanya Rp 5,1 triliun pada tahun ini. Dengan angka itu, berarti setidaknya hanya akan terbangun sekitar 100 ribu rumah.
Apersi sebenarnya mendukung segala kebijakan pemerintah yang ingin menuntaskan kesenjangan kebutuhan dengan pasokan rumah tersebut. Hanya saja, pihaknya juga perlu mengingatkan pemerintah untuk tidak asal dan berlebihan dalam mencanangkan penyediaan rumah.
Karena itu, Apersi mengajak pengembang untuk semakin bersinergi dengan pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas). Ketiga stakeholder ini tidak boleh lagi berjalan sendiri-sendiri. Kalau kolaborasi ketiganya dapat berjalan baik, pembangunan rumah bisa ditingkatkan, dan otomatis mengurangi backlog rumah.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Properti Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan, untuk mengurangi backlog, hendaknya pemerintah menambah dana penyertaan untuk FLPP berkali-kali lipat dari jumlah sekarang. Hanya saja, persoalan tidak lantas selesai ketika anggaran untuk pembangunan rumah ditambah. Persoalan ketersediaan lahan yang murah dan terjangkau juga wajib diselesaikan.
Masalah lain yang dihadapi pemerintah adalah ketiadaan data valid mengenai kebutuhan dan pasokan rumah. Meski sering disebutkan angka backlog sekitar 15 juta unit, tapi hal itu baru sebatas perkiraan, bukan data hasil survei di lapangan.
Itu pun daerah yang mengalami backlog tinggi, dan paling mendesak untuk ditangani, sepertinya tidak diketahui pemerintah. Mengutip data yang dibeberkan Real Estate Indonesia (REI), kekurangan pasokan rumah baru bisa teratasi dalam kurun waktu 20 tahun.
Dengan catatan pembangunan rumah yang disediakan pengembang mencapai 400 ribu unit, dan kebutuhan rumah di angka 700 hingga 800 ribu unit. Dengan kata lain, ada penambahan backlog rumah sekitar 300 ribu unit per tahun. Kalau beberapa problematika itu tidak segera dituntaskan, pihaknya pesimistis terjadi pengurangan backlog.
Menanti peran besar BTN
Sebenarnya, ada sebuah solusi yang selama ini kurang dilirik pemerintah. Adalah keberadaan Bank Tabungan Negara (BTN) yang sudah banyak berkontribusi dalam membantu penyediaan rumah bagi MBR dengan mendukung pembiayaan rumah yang terjangkau.
Bahkan, pembiayaan rumah bagi rumah subsidi dan nonsubsidi menguasai market share sebesar 95 persen (Rp 116 triliun) pada akhir 2014, dari total kredit yang disalurkan bank lain. Dengan data statistik itu, sangat pantas BTN diberi kepercayaan untuk menjawab tantangan penyediaan rumah bagi rakyat Indonesia, khususnya yang termasuk golongan MBR.
Melihat semakin tingginya backlog, tak bisa tidak pemerintah wajib memberikan pembiayaan khusus bagi MBR yang ingin memiliki rumah pertama. Langkah Presiden Jokowi menunjuk BTN sebagai motor utama dalam menangani backlog rumah merupakan keputusan tepat. Itu mengacu status BTN selama ini sebagai integrator stakeholder strategis dalam permasalahan kelangkaan perumahan di Indonesia.
Keinginan pemerintah untuk melakukan percepatan penyelesaian backlog perumahan wajib disambut hangat BTN. Apalagi, bank yang berdiri tahun 1897 ini akan diberikan peran sangat besar dalam pelaksanaan program pemenuhan perumahan dalam skala nasional.
"Kami siap untuk menjadi motor dalam menggerakkan program rumah bagi masyarakat. Ini adalah program pemerintah dan menjadi tugas mulia bagi kami untuk merealisasikannya," kata Dirut BTN Maryono dalam siaran pers perusahaan.
Maryono siap memikul tanggung jawab tersebut. Pihaknya sudah menyiapkan dua jurus jitu guna menggerakkan BTN sebagai upaya mengurangi backlog rumah. Pertama, BTN sebagai lembaga pembiayaan yang menyediakan lending products kepada seluruh pihak terkait pembangunan perumahan, baik dari sisi penawaran (supply) maupun permintaan (demand). Kedua, BTN sebagai inisiator dan integrator kerjasama antarinstitusi dalam meningkatkan ketersediaan rumah.
Selama ini, sebagai pemain utama dalam pembiayaan perumahan nasional, BTN telah memberikan masukan dalam mengatasi problematika perumahan nasional. Harus diakui, masalahnya memang cukup kompleks dan perlu campur tangan pemerintah untuk mengatasinya. Persoalan utamanya memang menyangkut penawaran, seperti lahan dan infrastruktur, pasokan bahan bangunan dan peraturan menyangkut pembangunan perumahan itu sendiri.
Kemudian, masalah kepemilikan rumah, seperti penghasilan masyarakat yang terbatas, kesiapan dukungan dana dari perbankan yang umumnya didukung oleh dana jangka pendek. Penyediaan dana jangka panjang oleh pasar modal sampai dengan saat ini di Indonesia juga belum tersedia.
Dengan mengidentifikasi masalah itu satu per satu, BTN merasa pemerintah perlu mengintervensi dalam upaya meningkatkan kapasitas ketersediaan perumahan, khususnya perumahan murah. Di samping itu keterlibatan pemerintah juga dinantikan untuk memastikan ketersediaan pembiayaan perumahan.
"Jadi tetap untuk mengatasi problematika perumahan nasional kuncinya ada pada political will pemerintah," ujar Maryono. Dia melanjutkan, idealnya BTN juga diberikan kewenangan untuk mengelola bagaimana program rumah rakyat dapat berjalan dengan dukungan penuh dari pemerintah, di bawah koordinasi Kementerian PUPR.
Kalau hal itu dapat dilakukan, pihaknya sangat optimistis bisa menuntaskan permasalahan backlog perumahan, yang menurut data perusahannya sebanyak 13,6 juta unit. Dari jumlah itu, ada 6,4 juta keluarga masih mengontrak atau sewa, dan 7,2 juta rumah tangga masih menumpang orang tua. Terkait yang menumpang tersebut, BTN memprioritas lebih dahulu, lantaran akses terhadap kepemilikan rumah masih jauh.
Untuk merealisasikan itu, BTN berharap kendala lainnya, seperti penyediaan lahan yang terbatas, peningkatan penduduk yang sangat cepat, perizinan, infrastruktur, dan pembiayaan bank, juga harus sudah teratasi lebih dulu. Karena itu, pihaknya menginginkan ada perbaikan dari segi izin, sertifikat, dan lainnya agar bisa dimudahkan.
Setelah merinci daftar hambatan dan peluang itu, pihaknya siap menjadi motor penggerak penyediaan rumah bagi masyarakat. Hanya saja, BTN mengakui, penyediaan tempat tinggal tidak bisa mencapai satu juta unit per tahun.
"Paling bisa mencapai 300-400 ribu unit rumah. Ini tantangan bagi kami, tapi merupakan suatu peluang," kata Maryono. Sisanya, bisa ditangani pemerintah dan BUMN terkait sembari berkoordinasi dengan BTN.
Tentu yang tak boleh dilupakan adalah rencana BTN meluncurkan program akselerasi kepemilikan rumah bagi MBR. Dengan syarat uang muka (DP) sebesar 1 persen per 1 Maret mendatang, langkah itu diprediksi akan mengurangi backlog rumah. Pasalnya, salah satu kendala besar bagi warga miskin dalam upaya memiliki rumah adalah terhalang besarnya uang muka yang harus dibayarkan kepada pengembang.
Memang tidak mudah bagi BTN menjaga amanah tersebut. Tapi, mengacu pengalaman BTN yang sudah dipercaya masyarakat selama 65 tahun lamanya dalam membiayai rumah, termasuk rumah subsidi, tentu hal itu akan dijadikan amanah yang wajib diwujudkan bagi BTN dalam membantu pemerintah mengurangi backlog perumahan.