REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan menteri luar negeri, Hassan Wirajuda menilai, kebijakan poros maritim kurang memiliki roh Wawasan Nusantara, seperti yang dikonsepsikan Mochtar Kusuma-atmadja.
"Kebijakan maritim masih banyak menekankan pada sisi teknis dan fungsional, seperti terefleksikan dalam UU kelautan," katanya dalam acara peluncuran buku biografi Mochtar Kusuma-atmadja berjudul 'Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-atmadja' di Jakarta, Sabtu (28/1).
Hassan memprihatinkan tentang jumlah sumber daya intelektual di bidang maritim dan infrastruktur laut dan darat. "Belum memadai, dan belum tentu cukup. Kewajiban generasi penerus untuk memperhatikan hal tersebut," katanya.
Hassan berpendapat bahwa poros maritim harus secara cerdas dihubungkan dengan konsep lain yang berkembang di luar, seperti di Tiongkok. "Di Tiongkok terdapat dua konsep, yaitu jalur sutra maritim dan konsep pembangunan infrastruktur yang menghubungkan Tiongkok, ASEAN sampai ke India," katanya.
"Dimensi infrastruktur maritim tidak lalu nampak di sana, kita bisa menghubungkannya dengan rancangan infrastruktur poros maritim kita melalui kerjasama," ucap Hassan.
Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 merupakan deklarasi yang memuat konsep mengenai prinsip negara kepulauan. Mochtar Kusuma-atmadja menjadi konseptor dalam deklarasi yang kemudian terkenal sebagai Wawasan Nusantara tersebut. Mochtar Kusuma-atmadja kemudian memimpin perjuangan selama 25 tahun pada Konferensi Hukum Laut di PBB untuk diakuinya konsep tersebut oleh dunia internasional.
Pengakuan prinsip negara kepulauan tersebut pada 1982 menyebabkan luas laut Indonesia meluas dari sekitar dua juta kilometer persegi menjadi 5,8 juta kilometer persegi.