REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyusul insiden penembakan di kantor redaksi majalah satir, Charlie Hebdo, di Prancis dan kabar adanya tiga gadis asal Inggris yang meninggalkan rumah untuk bergabung dengan pasukan ISIS di Syria, membuat sentimen anti-Islam menyeruak kembali di Inggris.
Pada Sabtu (28/2) pagi, 400 orang di bawah bendera Pegida, berdemonstrasi di Newcastle untuk menyerukan penolakannya terhadap keberadaan Muslim di kota tersebut.
Grup ekstrimis asal Jerman yang sebelumnya sukses melancarkan aksi serupa di negara asalnya ini, mulai menyebarkan pemahamannya ke negara lain di Eropa, termasuk Inggris. Newcastle menjadi kota pertama dari rangkaian demonstrasi yang akan mereka lakukan di seluruh Inggris.
Kota ini dipilih karena Newcastle termasuk dalam daftar kota 'terputih' di negeri ratu Elizabeth itu, karena memiliki populasi warga kulit putih yang banyak dibandingkan kaum imigran.
"Islamisasi adalah sesuatu yang harus diberantas dan kami ingin para muslim keluar dari kota kami," ujar salah seorang perwakilan Pegida.
Mereka juga membuat petisi yang diklaim telah ditandatangani oleh 1.000 orang pendukung. Petisi tersebut menentang kehadiran makanan dan masakan halal di Newcastle.
Para demonstran tidak segan menyebut diri mereka nasionalis dengan mengibarkan bendera Inggris sebagai bukti, selama aksi berlangsung. Di sisi lain, mereka juga mengibarkan bendera Israel bahkan Nazi.
Sejak rencana demontrasi ini diumumkan di halaman facebook Pegida, sebanyak 7.000 pengguna jejaring sosial tersebut menyatakan dukungannya. Hal ini membuat komunitas muslim di Newcastle was-was, termasuk warga Indonesia.
Mereka saling mengingatkan untuk tidak meninggalkan rumah selama demonstrasi berlangsung apalagi menyusul adanya sejumlah perlakuan tidak menyenangkan yang dialami sejumlah muslim Indonesia.
"Teman-teman muslim harus tetap waspada karena kondisinya tidak bisa diprediksi," ujar salah seorang mahasiswa muslim Indonesia, Ria.
Namun, aksi Pegida itu tidak lantas disetujui dan mendapatkan dukunganpenuh dari warga Newcastle. Kelompok yang menamakan dirinya Newcastle Unites, melakukan demo tandingan di hari dan tempat yang sama yang membuat Pegida kalah jumlah.
Aksi ini dihadiri oleh sekitar 1.500 orang dan dilakukan berhadapan dengan aksi Pegida, kurang dari 100 meter, yang hanya dibatasi barikade polisi. Kelompok ini tidak hanya berisikan para imigran dan muslim, namun juga penduduk asli Newcastle dan kota-kota lain di sekitarnya.
Aksi ini juga didukung sejumlah anggota parlemen Inggris dan Eropa serta sejumlah pemuka agama di kota tersebut. Anggota parlemen Newscastle, Chi Onwurah menyatakan, Newcastle adalah kota yang ramah akan pendatang.
"Orang-orang islamophobic, rasis, fasis, anti-semitis tidak layak tinggal di Newcastle. Kami mendukung kebebasan berekspresi, begitu juga kebebasan menganut agama yang diyakini," ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh anggota parlemen German Timur, Arne Lietz. "Eropa memastikan setiap orang hidup dengan adil. Kami mengedepankan solidaritas bukan kebencian," ucapnya.
Terlepas dari aski Pegida dan sejumlah insiden diskriminatif lainnya, Newcastle adalah tempat yang ramah muslim. Universitas terbesar di kota tersebut, Newcastle University, menyediakan masjid di kampus utama yang mudah dijangkau dengan kapasitas jamaat lebih dari 300 orang.
Kantinnya menyediakan pilihan masakan halal bagi pelajar Muslim. Di luar kampus, ada sejumlah tempat ibadah lain dan berbagai pilihan rumah makan serta swalayan halal, sehingga muslim tidak sulit menjalankan agamanya. Sebuah Islamic Centre juga tengah dibangun di kota tersebut.
Salah seorang penduduk lokal, Vin Wayne, memastikan bahwa Muslim akan selalu diterima di Newcastle, sebagaimana dengan warga kulit hitam dan kaum minoritas lainnya.
"Mereka yang tidak tahu caranya menghargai orang lain, tidak berhak berada di kota dan negara kami. Mereka yang pantas diusir, bukan Muslim," katanya.