REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Sudah puluhan tahun seluruh kebutuhan katalis penunjang industri di Indonesia 100 persen diperoleh dari impor. Kemampuan katalis untuk mempercepat reaksi hingga ratus miliaran kali lipat, menjadi tumpuan manusia untuk memenuhi efektivitas waktu. Saat ini, kebutuhan dunia akan katalis mencapai nilai 21 miliar dolar Amerika.
Oleh karena itu, pengembang katalis nasional (PKN) Subagjo mengatakan, perlu adanya kerja sama antara lembaga penelitian atau perguruan tinggi dengan industri untuk menghasilkan sendiri formula katalis yang baik.
"Katalis itu bisa menghemat waktu, energi, sehingga lebih bisa melestarikan lingkungan. Apalagi kalau kita bisa bikin sendiri, bisa menghemat biaya industri," ujar Subagjo saat ditemui di ITB, Senin (2/3).
Namun, diakui Subagjo, hal tersebut tidak mudah di lakukan di Indonesia. Misalnya, pada 1983-1987 Subagjo pernah menawarkan idenya untuk mengembangkan katalis dengan memanfaatkan sisa minyak goreng yang tidak dimanfaatkan oleh pabrik. Namun, ide tersebut ditolak Pertamina.
"Banyak penolakan dari pihak industri itu sendiri karena dirasa tidak menguntungkan secara ekonomi," katanya.
Setelah berkali-kali mencoba, akhirnya pada 2004, Subagjo dan rekan-rekannya kembali melakukan penelitian. Formula katalis dengan kinerja yang baik pun bisa diperoleh pada 2007. "Tahun 2010, bersama Pertamina, kami membangun pabrik katalis berukuran kecil," ujarnya.
Setelah satu tahun dioperasikan, pada Juli 2012 katalis dinyatakan terbukti menunjukkan kinerja yang baik. Sejak keberhasilan ini, kata dia, Pertamina memutuskan menggunakan katalis pengembanhan ITB bersama Pertamina, untuk proses diesel, kerosin, dan nafta.
“Pada November 2014, sebanyak 6,5 ton katalis digunakan di RU IV Cilacap untuk keperluan industri Pertamina,” katanya.
Subagjo menuturkan, penelitian dan pengembangan katalis nasional memerlukan biayanya sangat besar dan ruang yang cukup untuk membuktikan bila Indonesia mampu untuk mandiri dalam teknologi proses. Oleh karena itu, pengembangan katalis nasional tidak bisa dilepaskan dari peranan dan kepercayaan industri pada kemampuan perguruan tinggi atau lembaga penelitian.