REPUBLIKA.CO.ID, -- Bila disebut tasawuf, sebagian besar masyarakat akan memahaminya sebagai hidup menjauh dari dunia dan lebih fokus ke akhirat. Kekayaan diajuhi, kekuasaan diabaikan. Hidup sepenuhnya untuk beribadah.
Pemahaman seperti ini bisa dipahami mengingat pada awal munculnya, para pengamal tasawuf, dikenal sebagai sufi, memilih untuk menjauh dari dunia, menepi dan mengasingkan diri, sibuk berdzikir dan beribadah. Bagi mereka bahagia itu ketika merasakan kehadiran Allah.
Tasawuf dalam buku ini tidaklah dimaknai seperti itu. Buya Hamka memaknai tasawuf sejalan dengan al-Junaid al-Baghdadi yang mengartikan tasawuf sebagai, “keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk ke budi pekerti yang terpuji.”
Inilah tujuan awal hadirnya tasawuf yaitu membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi dengan menekan segala kelobaan dan kerakusan.
Dengan pemahaman seperti ini, bagi Hamka tidak ada yang salah dengan bekerja keras dalam mengumpulkan harta atau berupaya tanpa kenal lelah untuk menggapai kuasa. Justru ini sejalan dengan ajaran Islam yang mendorong ummatnya untuk mencari rezeki dan mengambil sebab-sebab mencapai kemuliaan, ketinggian, dan keagungan dalam hidup.
Namun, jangan salah menempatkannya. Kekayaan, kekuasaan, dan segala kesenangan dunia ditempatkan sebagai jalan, bukan tujuan. Dalam menggapai bahagia misalnya, kekayaan adalah jalan, bukan kebahagiaan itu sendiri.
Perjalanan kita di dunia ibarat pelayaran kapal yang singgah di sebuah pulau yang indah. Namun, sejak awak nakhoda sudah mengingatkan bahwa izin turun hanya untuk beristirahat sejenak. Silakan melihat-lihat, tapi jangan lalai bila datang panggilan hendak melanjutkan pelayaran.
Setengah orang, diikutinya perintah nakhoda itu, dia turun ke daratan, mengambil barang-barang sekadar yang berguna, tidak membuang-buang tempo, setelah selesai dia pun kembali ke kapal. Setengahnya lagi terpedaya dan terlambat naik, sehingga tempat duduknya telah digantikan orang lain.
Adapun sebagian pula, dan inilah yang terbesar, lalai dan lengah, terpedaya, lupa bahwa perjalanannya masih jauh.
Tertarik dia dengan keindahan yang ada di pulau itu, sehingga disangkanya tidak ada lagi keindahan dan kecantikan sesudah itu. Telah berkali-kali lonceng berbunyi menyuruh naik ke kapal, dia masih acuh tak acuh. Tiba-tiba datang masa dan waktunya, kapal membongkar sauhnya dan mereka tertinggal dalam pulau itu.
Agar tidak salah langkah saat dalam mengarungi dunia, agama harus menjadi pijakan. Hidup dengan berpedoman pada agama itulah jalan kebahagiaan sejati. Kaya atau miskin, penguasa atau rakyat jelata, sukses atau gagal tidak menghalanginya untuk hidup bahagia. Karena baginya, semuanya merupakan jalan untuk menggapai kebahagiaan sejati di akhirat nanti.
Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1939. Mulai ditulis sejak pertengahan 1937 dan dimuat di majalah Pedoman Masyarakat. Meskipun demikian, pesan-pesan yang disampaikan buku ini tetap relevan walau generasi telah berganti, zaman telah berubah.
Judul : Tasawuf Modern, Bahagia itu Dekat dengan Kita, Ada dalam Diri Kita
Penerbit : Republika Penerbit
Penulis : Prof. Dr. Hamka
Halaman : 397 halaman