REPUBLIKA.CO.ID, YAMAN -- Presiden Yaman Abedrabbo Mansour Hadi mengusulkan agar ibukota Saudi Arabia, Riyadh, sebagai tempat yang tepat untuk dimulainya kembali pembicaraan rekonsiliasi dengan militan Syiah yang dimediasi PBB.
Pembicaraan yang telah diselenggarakan di ibu kota Yaman, Sana'a, sendiri gagal sejak Hadi melarikan diri ke Aden bulan lalu setelah beberapa pekan menjadi tahanan rumah.
Yaman terlibat dalam krisis politik yang mengancam untuk membagi negara itu. Pembicaraan rekonsiliasi yang dimediasi PBB bertujuan untuk mencari solusi dari konflik politik antara militan Syiah yang dikenal sebagai Houthi dan Presiden Yaman Abed Rabbo Mansour Hadi.
Pembicaraan berawal saat jaringan Al-Qaida cabang Yaman yang dianggap sebagai jaringan teror paling berbahaya meningkatkan serangan terhadap militan Syiah di Provinsi tengah Bayda.
Pada Selasa siang, seorang pembom mobil bunuh diri menyerang gerbang kamp militan Syiah di kota Bayda. Aksi bom bunuh diri itu menewaskan delapan militan dan melukai 22 lainnya. Selain aksi bom bunuh diri, serangan itu juga diwarnai dengan aksi baku tembak antara militan dan beberapa penyerang.
Menurut pejabat keamanan dan warga yang tidak ingin disebutkan namanya, sebelumnya, Houthi juga menjadi korban dalam bentrokan malam dengan al-Qaida di tempat lain di provinsi Bayda. Mereka mengatakan sedikitnya 25 pemberontak tewas di tiga lokasi yang berbeda, bersama dengan setidaknya tujuh militan.
Adapun Al-Qaeda di Semenanjung Arab yang merupakan cabang di Yaman melakukan pengakuan di akun Twitternya. Dalam twitter, mereka menuliskan bertanggung jawab atas penyerangan tersebut.
Menurut sumber New York Times, Hadi menawarkan agar Riyadh sebagai tempat perundingan para pemimpin suku di Aden. Hal tersebut dipertimbangkan sejak Hadi melarikan diri tahanan rumah di Sanaa bulan lalu.