Jumat 06 Mar 2015 16:15 WIB

Ruang Aksi Pembegalan Semakin Sempit, Tapi..

Polisi menunjukan tiga tersangka pelaku begal motor IS (18), D (18), dan ADP (18) berikut barang bukti yang berhasil ditangkap di Mapolresta Depok, Jawa Barat, Minggu (1/2).  (ANTARA/Indrianto Eko Suwarso)
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Polisi menunjukan tiga tersangka pelaku begal motor IS (18), D (18), dan ADP (18) berikut barang bukti yang berhasil ditangkap di Mapolresta Depok, Jawa Barat, Minggu (1/2). (ANTARA/Indrianto Eko Suwarso)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog forensik Universitas Pancasila Jakarta Reza Indragiri Amriel mengatakan, aksi "pengadilan jalanan" yang dilakukan masyarakat kepada pelaku begal harus menjadi pemicu bagi Polri untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap tindak pembegalan.

"Pada akhirnya, peluang pelaku untuk melakukan pembegalan akan semakin sempit. Hal itu merupakan keadaan ideal yaitu turunnya risiko masyarakat menjadi korban pembegalan," kata Reza Indragiri dihubungi di Jakarta, Jumat (6/3).

Reza mengatakan razia yang dilakukan Polri setelah kejadian pembakaran pelaku pembegalan menunjukkan peningkatan kewaspadaan aparat penegak hukum. Kondisi seperti itulah yang diharapkan masyarakat.

Namun, Reza mengatakan kewaspadaan masyarakat terhadap aksi begal jangan sampai menurun setelah melihat polisi hadir lebih intensif daripada biasanya di tengah masyarakat. Di sisi lain, jangan pula ketika aksi pembegalan berkurang, polisi menurunkan kewaspadaannya.

"Pada saat itulah kesempatan bagi aksi begal berikutnya terbuka, sampai kemudian khalayak luas kembali meningkatkan kewaspadaan. Begitu seterusnya," tuturnya.

Terkait tindak main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat terhadap pelaku pembegalan terdapat dua pelaku pidana dalam kejadian tersebut. "Pertama adalah yang telah membegal dan kedua adalah orang-orang yang bertindak main hakim sendiri kepada para pembegal seperti aksi pembakaran hidup-hidup terhadap pelaku pembegalan di Tangerang Selatan," katanya.

Reza mengatakan aksi "pengadilan jalanan" yang dilakukan masyarakat terhadap pelaku pembegalan karena memandang situasi vakum hukum sesungguhnya merupakan bentuk pelanggaran hukum. Hal tersebut disebut sebagai vigilantisme.

Menurut Reza, vigilantisme seharusnya tidak terjadi bila otoritas hukum mampu mengartikulasikan ketakutan dan kemarahan publik terhadap aksi pembegalan yang telah meresahkan masyarakat. Aksi pembakaran tersebut merupakan cermin dari krisis kepercayaan publik terhadap otoritas hukum.

"Seharusnya polisi dapat menangkap pembegal, memprosesnya secara hukum bersama kejaksaan untuk dibawa ke pengadilan dan hakim menjatuhkan hukuman berat sesuai derajat kemarahan korban dan masyarakat," tuturnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement