REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Organisasi Masyarakat (Ormas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Indonesia Beragam mendesak pemerintah Indonesia mencontoh negara-negara lain yang melindungi pekerja rumah tangga (PRT). Ini terkait ketidakjelasan rancangan undang-undang (RUU) perlindungan pekerja rumah tangga (PPRT).
Direktur Eksekutif Migrant Care Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat Anis Hidayah mengatakan, RUU PPRT sudah ada sejak tahun 2004 lalu. Namun, hingga saat ini, RUU ini belum juga masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Padahal, negara-negara lain telah membuat regulasi untuk melindungi PRT.
“Di Filipina ada undang-undang (UU) PRT, beberapa wilayah India yang lebih miskin dari kita ada perlindungan PRT, bahkan, beberapa negara di Afrika juga melakukan hal yang sama. Kita harus menjadikan role model negara-negara itu dan jangan mengabaikannya,” ujarnya saat konferensi pers dengan tema 'Tuntutan Perempuan Negara Harus Mengakui dan Melindungi PRT' di Jakarta, Jumat (6/3).
Pihaknya mendesak supaya RUU ini disahkan karena sebagai perlindungan PRT. Ini karena mengingat masih banyaknya masalah yang dihadapi PRT. Ia menyebutkan, sebanyak 15.500 PRT migran di seluruh dunia menghadapi persoalan seperti libur, kekerasan seksual, hingga gaji. Sementara itu, lebih dari 10 ribu PRT di dunia mengalami nasib tragis meninggal dunia.
“Kasusnya cenderung mengalami kenaikan,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Kodar Tri Wusananingsih mengatakan, perlindungan terhadap PRT memang masih sangat kurang. Untuk itu, pihaknya mendorong supaya pemerintah membuat payung hukum untuk PRT. “Tetapi tidak cukup hanya membuat tetapi juga harus dilihat realisasinya apakah berpihak pada PRT,” katanya.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari mengatakan, peningkatan kekerasan terjadi pada PRT karena tidak ada jaminan perlindungan hukum untuk mereka. Dia menambahkan, Indonesia sebenarnya telah memiliki RUU PPRT sejak tahun 2004 lalu.
“Tetapi, proses (pengesahan RUU PPRT) di DPR sangat sulit karena anggota parlemen punya kepentingan pada PRT,” ujarnya.
Ketidakjelasan perlindungan untuk PRT semakin terlihat saat RUU PPRT tidak masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2009-2014. Kemudian RUU PPRT ini kembali tidak masuk dalam prolegnas 2015. Isu PRT yang seharusnya masuk ke komisi VIII, tetapi akhirnya dilempar ke komisi II. Namun sayangnya, komisi II memilih isu lain seperti RUU PRT di luar negeri.
Padahal, kata Dian, diakui atau tidak PRT memberikan sumbangan besar bagi jalannya roda pembangunan di segala bidang, baik langsung maupun tidak langsung. “PRT migran memberikan sumbangan kepada Indonesia, dalam bentuk memperbesar devisa negara, menambah peredaran uang, memperkuat dan menggerakkan ekonomi desa melalui remitansi, mengurangi pengangguran, hingga memutus mata rantai kemiskinan,” katanya.