REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Norwegia mempertanyakan komitmen Indonesia dalam melanjutkan program kerjasama pengendalian perubahan iklim. Ketua Tim Pengarah pada Tim Pengendalian Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar mengatakan Norwegia ingin agar kerjasama ini tetap dilanjutkan.
Sebab, Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Deforestasi, Degradasi Hutan (BP REDD+) telah dibubarkan oleh Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden No.16/2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sehingga, tugas lembaga tersebut kemudian diambil alih oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Membicarakan mengenai LOI (letter of intent) dengan Norwegia, dengan Indonesia tuh ingin meyakinkan dan bersikap sangat positif untuk melaksanakan LOI itu untuk dituntaskan lebih lanjut. Intinya itu. Waktu itu Norwegia yang menjanjikan 1 miliar itu, bertanya tanya apakah masih jalan, ya masih jalan. Itu intinya," kata Rachmat usai menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jumat (6/2).
Norwegia pun, kata Rachmat, mempertanyakan program kerjasama untuk mengatasi perubahan iklim dan mengurangi emisi karbon senilai 1 miliar dolar AS. Menurut dia, pihaknya telah membahas peleburan tugas BP REDD dalam KLHK dengan Norwegia.
Indonesia dan Norwegia pun akan kembali membahas hal ini pada pertengahan Maret nanti atau menjelang kedatangan Perdana Menteri Norwegia ke Indonesia. Selain itu, Rachmat mengatakan Norwegia mengeluhkan lambatnya kerja Indonesia dalam merealisasikan kerjasama tersebut.
"Karena kemarin kan waktu itu belum lancar entah mengapa, BP REDD+ (Badan Pelaksana REDD+)-nya, dicabut mandatnya, nah itu dikembalikan ke kementerian lalu kementerian membentuk tim yang saya ketuai, untuk melangsungkan itu," jelaskan.
Lebih lanjut, sejauh ini Norwegia telah mengucurkan dana sebesar 30 juta dollar AS kepada Indonesia. Pelaksanaan kerjasama ini akan diprioritaskan di Kalimantan Tengah serta Sumatera