REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Presiden Joko Widodo konsisten mempertahankan keputusannya untuk menolak grasi sepuluh terpidana mati bandar narkoba, termasuk duo Bali Nine. Sepuluh terpidana mati tetap akan diekeskusi pada gelombang kedua dalam waktu dekat. Kendati demikian, di sisi lain, Jokowi juga dinilai bakal menghapus hukuman mati itu sendiri.
Terbuka kemungkinan, saat pemerintah Indonesia pekan ini memindahkan dua penyelundup narkoba asal Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (Bali Nine) ke Nusakambangan. Sebab di sisi lain, Kejaksaan Agung mengatakan akan membiarkan semua proses hukum banding para terpidana untuk dilanjutkan.
"Mr Widodo mengatakan bahwa pemerintahnya akan terbuka untuk menghapuskan hukuman mati, jika rakyat Indonesia menginginkan perubahan," tulis laporan ABC, Ahad (8/3).
Jokowi menambahkan, hukuman mati memang akan tetap dilakukan untuk gelombang kedua terhadap sepuluh terpidana mati saat. Namun di masa depan, Jokowi mengaku, sangat memungkinkan untuk dihapuskan.
"Konstitusi masih memungkinkan (hukuman mati). Tetapi di masa depan, jika perlu untuk mengubahnya, dan orang-orang menginginkannya, mengapa tidak?," kata Jokowi dikutip ABC, Ahad (8/3).
Kendati demikian, Jokowi mengaku tak ingin lebih jauh membahas kemungkinan penghapusan hukuman mati tersebut. Menurutnya, terpenting saat ini adalah memantapkan kesiapan eksekusi mati gelombang kedua kali ini.
"Saya tidak ingin berbicara tentang masalah ini sekarang," kata Presiden menambahkan.
Sementara itu Perdana Menteri Australia, Tony Abbott mengatakan ia masih menunggu untuk berbicara kembali dengan Presiden Joko Widodo untuk kembali melancarkan lobi pembebasan Bali Nine.
"Saya sudah meminta untuk berbicara dengan Presiden Widodo,... namun pada tahap ini belum bisa diatur," ujarnya, Sabtu (7/3). Sebelumnya Abbott masih keras menegaskan bahwa eksekusi mati akan mengganggu hubungan diplomatik antara Australia-Indonesia.