REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dahulu, Jalur Sutra didominasi para saudagar Muslim dari Timur Tengah. Ketua Program Studi Timur Tengah dan Islam Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Dr Hanief Saha Ghafur mengungkap, para saudagar itu selain berdagang juga memimpin misi dakwah.
"Kalau kita mau lihat generasi awal, sudah banyak sahabat Nabi yang memulai perjalanan ke wilayah Timur dan Tiongkok di Xinjiang untuk melakukan perdagangan. Kita kenal ada rombongan yang dipimpin Saad bin Abi Waqqash, sahabat Nabi yang juga memimpin misi dakwah dan diplomasi dagang ke kawasan Tiongkok," ungkap dia, belum lama ini.
Saat itu, kata Dr Hanief, Islam belum tersebar melalui jalur maritim, tapi melalui jalur darat seperti Jalur Sutera ini. "Hingga kini kalau kita mau lihat jejak sahabat, bisa kita lihat di Kota Guangzhou, ada makamnya sahabat Saad bin Abi Waqqash beserta rombongan dagangnya," ucapnya.
Pola dakwah ini selanjutnya diikuti oleh saudagar Muslim Timur Tengah setelah masa para sahabat. Mereka tidak hanya mendominasi perdagangan Jalur Sutra, tetapi juga menjadi pendakwah menyebarkan Islam hingga ke kawasan Cina.
Ihwal rencana Pemerintah Cina menghidupkan kembali Jalur Sutra, Dr Hanief menilai rencana itu merupakan hal positif. "Saya pikir itu sesuatu yang positif. Karena, kini Cina memang tetap memiliki peran negara produsen barang dan perdagangan terbesar di dunia. Jadi, ini sangat bagus untuk kembali merajut dua peradaban yang telah ada," kata dia.
Terutama, lanjut dia, harus memberikan dampak baik bagi peradaban dan perkembangan Islam, seperti yang pernah berlaku sebelumnya. Karena Cina kini memiliki karakteristik sendiri dengan model komunismenya.
"Mereka masih tertutup dan cenderung diskriminatif, terutama bila kita melihat apa yang mereka berlakukan bagi Muslim Uyghur dan Hui. Itu menjadi stigma Cina bagi dunia Muslim. Jadi, kita berharap bila Pemerintah Cina ingin menghidupkan kembali Jalur Sutra, harus ada komitmen hubungan baik dengan Muslim minoritas di Cina," kata dia.