REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Yogayakrta, Muzakir mengatakan, eksekusi terhadap para terpidana mati harus segera dilaksanakan. Menurutnya, waktu menunggu yang lama sejak putusan pengadilan negeri sampai dengan grasi ditolak, dan eksekusi mati dilakukan merupakan praktik yang kurang bagus.
Dia menyebutkan, rata-rata, para terpidana harus menunggu sepuluh hingga belasan tahun untuk dieksekusi. "Jadi kalau memang sudah diputuskan untuk dieksekusi, ya eksekusi. Nggak boleh lagi memiliki jangka waktu yang lama," kata Muzakir kepada Republika, Senin (9/3).
Muzakir mengatakan, peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana memang merupakan hak hukum yang harus dihormati. Ia pun memaklumi jika pelaksanaan eksekusi akhirnya ditunda karena pengajuan PK tersebut.
Namun, Muzakir menilai, adanya terpidana yang mengajukan PK seharusnya tidak mempengaruhi pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana lain. Hal tersebutlah yang terjadi dalam pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua saat ini.
"Kalau misalnya yang mengajukan satu, yang ditunda yang satu aja, yang mengajukan itu. Kalau yang lain tidak, ya tidak. Prinsipnya begitu," ujarnya.
"Dan permohonan PK itu tidak harus disidangkan tapi cukup diperiksa dulu apakah fakta hukum yang diajukan sesuatu yang baru, yang bisa mengubah putusan atau tidak. Kalau misalnya tidak ya dibuka sidang tapi untuk ditolak," kata Muzakir menambahkan.
Dia menyarankan, Mahkamah Agung (MA) harus memprioritaskan permohonan PK terpidana mati. Selain itu, Muzakir juga meminta Presiden Jokowi untuk secara tegas memerintahkan Kejaksaan Agung untuk mempersiapkan dan melaksanakan eksekusi mati lebih cepat.
"Mereka kan juga tahu ujung-ujungnya mati dan itu membuat psikologisnya kurang bagus. Jadi keadaan psikologis terpidana juga harus dipertimbangkan," ujarnya.