REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Kanselir Jerman, Angela Merkel meminta Jepang menyelesaikan kasus perbudakan seksual selama masa perang. Ini merupakan permintaan kedua Merkel terkait isu sensitif dalam sejarah Asia Timur tersebut.
Dalam penutupan kunjungannya di Jepang, Merkel mengatakan bahwa Tokyo harus tetap melakukan rekonsiliasi dengan Korea Selatan (Korsel) terkait kasus perbudakan seksual oleh tentara Jepang. "Jepang dan Korsel harus menyelesaikan permasalahan ini dengan cara yang semestinya," kata Merkel kepada Ketua Partai Demokratik Jepang, oposisi utama, Katsuya Okada seperti dikutip AFP dari Jiji Press, Selasa (10/3).
Sebelumnya, Senin, setelah bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Merkel menyatakan dalam konferensi pers bahwa penyelesaian sengketa sejarah merupakan "prasyarat untuk rekonsiliasi". Pernyataan Kanselir Jerman ini dikeluarkan di tengah kesiapan Jepang memperingati 70 tahun kekalahannya pada Perang Dunia II, di mana Shinzo Abe menyatakan kejahatan perang Jepang di masa lalu tetap dalam penelitian teliti oleh pemerintah.
Sementara Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida menolak membandingkan secara sederhana cara Jepang dan Jerman dalam menyelesaikan sengketa perang di masa lalu. "Latar belakang sejarah perang Jepang dan Jerman berbeda," ujar Kishida kepada para pewarta.
Hubungan antara Jepang dan negara-negara jajahannya dahulu, Tiongkok dan Korsel, sedang mendingin terkait kejahatan seksual tentara Jepang di kedua negara tersebut selama masa perang. Beijing dan Seoul, yang dijajah Jepang pada masa Perang Dunia II, ingin Tokyo meminta maaf dan menebus kesalahannya pada masa lalu.
Banyak sejarawan menyatakan, walau tanpa adanya data resmi, sebanyak 200.000 perempuan Korea, Tiongkok, Indonesia, Filipina dan Taiwan diperbudak secara seksual oleh tentara Jepang pada masa pendudukan di tempat-tempat pelacuran militer.
Para sejarawan meyakini perempuan ini menjadi pekerja seksual karena dipaksa dan menyatakan Tentara Kekaisaran Jepang terlibat dalam perbudakan tersebut, secara langsung maupun tidak langsung. Namun, pemerintahan sayap kanan Jepang menolak pendapat ini dan menyatakan para perempuan tersebut merupakan "perempuan penghibur" dan pekerja seks profesional yang terlibat dalam pertukaran komersial.
Kaum nasionalis Jepang juga menyatakan bahwa permintaan maaf dari Tokyo sudah cukup dan menuding pemerintah Tiongkok dan Korsel menggunakan isu Perang Dunia II untuk memicu kemarahan dari negara-negara lain.