REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik terkait rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya terus bergulir. Meski pemerintah menegaskan tetap meneruskan proyek ini, banyak pihak yang menolaknya, termasuk perusahaan negara Pertamina.
Media manager PT Pertamina, Adiatma Sardjito mengatakan, kerugian yang akan dialami karena pembangunan pelabuhan itu tidak hanya pada Pertamina saja, namun lebih jauh kepada masyarakat.
"Tidak hanya Pertamina, (tapi juga ) aset negara. Dampaknya kepada APBN. Kedua, pertanian. Kalau supply gas berhenti, pupuk kujang 1 juta ton terganggu, (apalagi) supply gas untuk listrik sepertiganya dari sana," ujar Adiatma, Selasa (10/3).
Adiatma juga menambahkan, di perairan Cilamaya membentang 1.900 km pipa minyak dan gas bumi. Akan berbahaya apabila dipakai dengan kegiatan pelayaran aktif. Belum lagi, lanjutnya, potensi kerugian negara sebesar Rp 21 triliun dengan kerugian per hari bisa mencapai Rp 60 miliar dari kerugian produksi.
"Yang rugi kita semua. dari penerimaan negara terganggu, masyarakat dan nelayan juga terganggu kemudian juga sebagai lumbung. Yang jelas berdampak kepada Pertamina," ujar Adiatma. Meski begitu, dia mengaku masih menunggu arahan dari pemerintah.
Sementara itu, Direktur Pelabuhan dan Pengerukan Kementerian Perhubungan Adolf Richard Tambunan mengatakan, pemrintah tetap akan melanjutkan pembangunan Pelabuhan Cilamaya dengan menggeser hingga 2,9 km dari lokasi awal.
"Presiden Jokowi sudah menyetujui penggeseran pelabuhan," ujar Adolf.
Adolf menekankan, penggeseran pelabuhan merupakan hasil dari kajian yang dilakukan oleh tim independen. Dengan ini, Adolf menegaskan lokasi pelabuhan tidak akan mengganggu kegiatan operasi Pertamina.
"Tiga konsultan internasional di bawah koordinasi kementerian perekonomian telah lakukan survei. Presiden juga setuju. Pembangunan pelabuhan dan kegiatan Pertamina bisa berjalan sama-sama," ujar Adolf.