Kamis 12 Mar 2015 12:03 WIB

Ali Audah, Pencari Jalan Tengah Kebudayaan Islam (1)

Rep: c 24/ Red: Indah Wulandari
Ali Audah saat peringatan milad ke-90 tahun
Foto: antara
Ali Audah saat peringatan milad ke-90 tahun

REPUBLIKA.CO.ID,Sosok Ali Audah dikenal sebagai seorang pengarang yang mempunyai kecerdasan religius.  Terutama dalam karya-karya seninya.

Ali lahir pada 14 Juli 1924 di Bondowoso, Jawa Timur. Ia banyak menulis cerita pendek, kritik dan esai serta dikenal sebagai penerjemah yang sangat mumpuni.

Meski Ali Audah hanya mengenyam pendidikan tingkat kelas satu Sekolah Rakyat (SR) dan kelas dua Madrasah Ibtidaiyah, bakatnya sangat terlihat. 

Saat itu, apapun tulisan yang dijumpainya langsung dibaca. Ketika di bangku madrasah, dasar anak badung, Ali Audah pernah dihukum gurunya.

Sejak itu dia tak tidak pernah kembali lagi ke madrasah. Ia mengisi otaknya dengan buku sepanjang hari.

 Buya Ahmad Syafi’i Maarif pernah menuliskan dalam Resonansi di Republika Online, 6 Mei 2014 bahwa di usia tujuh tahu, ayah Ali, Salim Audah wafat.

Maka, kemudian menjadi tanggung jawab ibunya Aisyah Djurban untuk membesarkannya. Ali Audah telah yatim sejak usia dini.

“Bagi saya, Ali Audah adalah pengilham sejati. Amat sayang, baru mengenal riwayat hidupnya setelah saya tua renta, tetapi tetap saja memberi ilham yang meluluhkan perasaan karena bangga,” ujar Buya Maarif.

Kebanggan itu, karena selain sebagai penulis karya asli dan penerjemah, Ali Audah yang pendiam ini juga adalah seorang sastrawan, dosen, penerbit, dan pemikir yang diakui.

“Saya belum menghitung sudah berapa ribu halaman karya tulis yang dihasilkannya yang kabarnya biasa bekerja hampir saban hari dari pukul 09.00 sampai pukul  21.00 dengan ketekunan dan disiplin yang tinggi. Kerja berjam-jam ini telah ditandanginya selama puluhan tahun dan hasilnya sungguh dahsyat,” imbuh Buya.

Dengan penguasaan bahasa asing seperti Arab, Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman, Ali Audah punya cukup bekal untuk membuka pintu khazanah peradaban manusia, Timur dan Barat.

Dalam artikel berjudul Kesenjangan Budaya yang dimuat oleh Panji Masyarakat, 11 Maret 1992, misalnya. Ali mengatakan, perlunya setiap zaman membuat tafsir sendiri yang sesuai dengan zamannya, termasuk menafsirkan kembali ayat-ayat dan hadist tentang kebudayaan.

Jadi biarlah agama selalu berkembang, kecuali akidah dan syariatnya. Ia menyatakan bahwa Alquran diturunkan untuk memberi hidup dan kekuatan. Kebudayaan Islam memperoleh daya hidup dan kekuatan dari sana.

Namun, untuk kebudayaan disarankan bahwa perlu ijtihad budaya, sebab ada ketegangan antara ilmuwan, seniman, dan sufi di satu pihak dengan ahli fikih di lain pihak. Yang pertama terlalu liberal dan yang kedua terlalu kaku.

Sebagai seniman, Ali mendukung kebebasan sepenuhnya dalam berekspresi bahkan dengan seni patung sebagaimana dicontohkan oleh kisah Alquran  tentang istana Nabi Sulaiman. Kebebasan adalah ciri kebudayaan.

Tetapi, karena ada keberatan fikih terhadap karya-karya budaya tertentu, ia mengusulkan sebuah jalan tengah antara budayawan dan ahli fikih sebagai landasan filsafat kebudayaan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement