REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Puluhan petani Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang tergabung dalam Forum Mitra Bulog mengeluhkan harga jual gabah kering di lapangan tahun lalu yang hanya sebesar Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu/kuintal. Padahal, harga pembelian pemerintah (HPP) gabah saat itu mencapai Rp 450 ribu.
Selain itu, hingga saat ini menjelang panen, pihak Bulog Divre NTB belum menetapkan HPP. “Rapat HPP gabah belum terjadi, walaupun sudah menjelang panen. Ini menyulitkan petani,” ujar Ketua Forum Mitra Bulog Lombok Tengah, NTB, Ahmad Sinarsih kepada wartawan seusai aksi di depan kantor Bulog Divre NTB, Kamis (12/3).
Ia menuturkan, pihaknya berharap agar HPP yang dikeluarkan oleh Bulog bisa lebih tinggi daripada tahun lalu. Pasalnya, kondisi saat ini, harga beras tengah mengalami kenaikan yang relatif tinggi.
Selain itu, Ahmad meminta Bulog untuk segera membeli gabah petani dari empat mitra Lombok Tengah yang mencapai 326 ton dan sudah berada di gudang Bulog. “Paling cepat 1 minggu, paling lama 1 bulan tapi setelah 5 bulan masih mengambang,” ungkapnya.
Menurutnya, mitra telah mengirim gabah tersebut sejak lama. Namun, pihak Bulog sama sekali tidak memperhatikan hal tersebut. Sehingga, akhirnya petani melakukan aksi di kantor Bulog. “Divre Bulog banyak mengeluarkan kebijakan yang bermasalah,” ungkapnya.
Ketua UD Putra Kedasih, Lombok Tengah ini pun mengeluhkan minimnya operasi pasar murah yang dilakukan Bulog sehingga harga beras di NTB tinggi, padahal NTB terkenal sebagai wilayah lumbung pangan.
Selain itu, masyarakat miskin tidak bisa memperoleh beras miskin disebabkan harus membayar terlebih dahulu. Sehingga kepala desa harus mencari dana ijon terlebih dahulu untuk mendapatkan raskin. “Kami minta Bulog bisa menstabilkan harga pangan,” katanya.
Kepala Satuan Pengawas Internal Bulog Pusat, Anton mengaku pihaknya sudah mempelajari masalah-masalah yang terjadi. Sehingga, berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh maka barang-barang yang dikirim oleh petani diakui sebagai barang yang telah dikirim kepada Bulog Divre NTB.
“Kami mempelajari dimana tim dari pusat tengah meneliti masalah tersebut. Dari bukti yang ditemui, kami berkesimpulan barang yang dikirim sebetulnya adalah barang yang menjadi hak (petani) dan diakui Bulog,” katanya.