REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly memberikan jaminan akan memberikan remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana kasus korupsi. Menurut dia, para narapidana kasus korupsi memiliki hak yang sama dengan narapidana kasus lainnya.
Pengamat Hukum Tata Negara Asep Warlan Yusuf pun menilai wacana yang digulirkan oleh Menkumham tak sesuai dengan nawa cita Presiden Joko Widodo yang semangat ingin memberantas korupsi. Ia mengatakan sebaiknya Menkumham menunda kebijakan untuk memberikan remisi kepada narapidana korupsi.
"Kebijakan (pengetatan pemberian remisi) itu harus dipertahankan. Tidak boleh ada remisi. Aneh tidak sesuai nawa cita Jokowi," kata Asep, Jumat (13/3).
Asep menilai sebaiknya pemerintah tidak memberikan kemudahan remisi dan pembebasan bersyarat kepada para koruptor. Sebab, langkah ini justru hanya akan memperburuk citra pemerintah.
Lebih lanjut, Asep mengatakan tindakan korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang berdampak besar, khususnya pada masyarakat. Oleh sebab itu, tambah dia, para pelaku korupsi harus diberikan hukuman berat seperti pembatasan pemberian remisi.
"Korupsi itu kejahatan HAM yang khusus efeknya besar kepada masyarakat luas. Oleh karena itu ada hukuman berat. Harus ada pertimbangan untuk dipenuhi hukumnya sebelum dapat remisi," terang Asep.
Selain itu, menurut Asep, penilaian perbuatan baik para narapidana korupsi selama di dalam tahanan seharusnya tidak menjadi pertimbangan pemberian remisi. "Berbuat baik di penjara tidak menjadi pertimbangan. Bahwa kebijakan berat misalnya korupsi seyogyanya tidak mendapatkan remisi. Lebih kepada moral," jelas Asep.
Meskipun remisi merupakan hak para warga binaan, namun Asep menilai pemerintah masih dapat memberikan kebijakan terkait hal ini. Ia pun meminta agar Menkumham lebih berhati-hati dalam memutuskan pemberian remisi pada narapidana korupsi.
"Harusnya hati-hati betul pak Menteri," ucapnya.