REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Nama lengkap Abu Nawas al-Hasan Ibn Hani al-Hakami, lahir di Ahwaz, Persia sekitar tahun 140 Hijri (757 M) dari seorang ibu Persia. Ayahnya dari Damsyik, seorang prajurit Syria.
Dalam sejarah sastra ia dinilai sebagai penyair besar pada zamannya, jenius tapi sinis, serba tak acuh. Di masa mudanya dia dikenal sebagai penyair mabuk.
Ia seringkali acuh dan kurang menghargai nilai-nilai moral dan agama. Di masa mudanya dia beranggapan hidup itu kesenangan semata, musik, minuman keras dan mabuk. "Kalau hidup demikian tak ada, maka selamat tinggallah dunia."
Antologinya yang besar banyak dibicarakan orang, dan al-Khamriyat yang berarti puisi-puisi minuman keras, khas bagi Abu Nawas, melukiskan arti dan kedudukan anggur, mabuk, bercumbu rayuan birahi dan segala hidup di luar ukuran moral dan agama.
Sesuai dengan ajaran Qur'an (an-Nisa [4]: 43) shalat dalam keadaan mabuk dilarang, maka dalam sajaknya Abu Nawas mengatakan, bila waktu shalat tiba, sengaja dia minum-minum sampai mabuk.
Terhadap mereka yang sering menegurnya karena perbuatanya itu, ia malah menantang dengan lantuan sajak: "Jangan kau tegur aku. Teguranmu malah merangsangku. Biarkan aku berobat dengan yang kusebut penyakit. Warna kuning emas tak kenal duka. Menyentuh batu, bila disentuh pun ceria, gemira."
Sajak tersebut cukup panjang dan dipandang paling indah yang pernah ditulis orang dalam melukiskan minuman keras, sampai-sampai ia berkata "Jika anggur dicampur dengan cahaya, ia akan membaur, dan lahirlah cahaya dengan segala kecermelangannya."
Bukan saja dalam melukiskan minuman anggur, juga dalam segala pelanggaran moral terlihat dalam sajak-sajaknya.
Memang ada yang menyebutkan pribadinya simpatik, wajahnya tampan, suka pada humor dan disukai dalam pergaulan. Apa yang dilukiskan Dr Syauqi Deif, kritikus sastra Arab terkemuka cukup menggambarkan latar belakang kehidupanya.
Abu Nawas berdarah Persia, cepat naik darah, tapi pengetahuannya begitu luas dalam pelbagai kebudayaan yang hudup masa itu. Dari kebudayaan Arab sampai kebudayaan Islam, dari kebudayaan Hindu, Persia, Yunani, Yahudi dan Kristen.
Di masa mudanya Abu Nawas pernah hanyut dalam perbuatan-perbuatan maksiat (Dr Syauqi Deif, Tarikh' l-Adab al-Arabi, Cairo,... jilid 3, h. 226).
Di atas semua itu, dia percaya Tuhan Maha Pengampun (Dr Omar Farrukh, Abu Nuwas, Bairut, 1960, h. 142). Bagaimanapun juga kedudukan syair-syairnya dalam sastra Arab tinggi sekali. Pilihan kata-kata dalam sajaknya orisinal dan kena.
Puisi-Puisinya dianggap paling lengkap dan tepat sekali melukiskan suasana dan masyarakat masa itu di Baghdad dan sekitarnya.
Sebagai penyair Abu Nawas pernah hidup di Istana Khalifah Harun ar-Rasyid dan penggantinya al-Amin. Tetapi tak jarang ia meringkuk dalam penjara karena sikapnya yang dinilai kuarang ajar dan sajak-sajanya yang nyentrik.