REPUBLIKA.CO.ID, BEJING -- Operasi transplantasi di China telah lama menggunakan organ yang diambil dari terpidana yang dieksekusi, sebuah praktek yang telah melanggar norma kemanusian hanya untuk memenuhi permintaan organ manusia. Bahkan, diketahui hal tersebut tanpa pemberitahuan dan persetujuan kerabat terdekat pemilik organ tubuh.
China merupakan negara yang sering mempraktikkan hukuman mati bagi para pelanggar hukum di negara tersebut. Bahkan untuk para koruptor sekalipun, China sudah menerapkan hukuman mati untuk para pelakunya. Dari eksekusi tersebut, China bisa memenuhi pasokan berlimpah penjualan organ manusia.
Tapi dalam beberapa tahun terakhir, hal tersebut mendapat kecaman dunia internasional. Sehingga China mengurangi praktik eksekusi mati, yang otomatis mengakhiri pengambilan organ dari tahanan yang dieksekusi mati. Sejak 1 Januari, pemerintah China telah menegaskan bahwa sudah tidak lagi menggunakan organ tubuh tahanan eksekusi mati.
Dui Hua Foundation, salah satu LSM Amerika, menganggap ada sekitar 6.500 eksekusi pada tahun 2007 dan menurun pada tahun 2013 menjadi 2.400 eksekusi. Jumlah eksekusi mati memang sudah menurun di negara tersebut tapi masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.
Pada akhir 2014, rumah sakit yang berwenang telah menerima organ tubuh sekitar 8.000 organ dari almarhum relawan-donor, namun tidak jelas apakah ini termasuk organ dari tahanan yang dieksekusi. Kabarnya, pejabat pengadilan di China akan diberikan insentif apabila memberikan organ tahanan yang dieksekusi kepada pihak rumah sakit yang berwenang.