Ahad 15 Mar 2015 20:30 WIB

Jokowi Diminta Lebih Tegas Basmi Korupsi

Rep: Dessy Suciati Putri/ Red: Yudha Manggala P Putra
 Presiden Joko Widodo bersiap memimpin saat rapat terbatas kabinet di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (11/3).
Foto: Antara/Andika Wahyu
Presiden Joko Widodo bersiap memimpin saat rapat terbatas kabinet di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (11/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Universitas Trisakti Yenti Garnasih, meminta Presiden Jokowi bertindak lebih tegas dalam memberantas korupsi di negeri ini. Sebab, menurut dia, pemberantasan korupsi di pemerintahan Jokowi saat ini justru cenderung dapat melemah daripada di era mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Ada kecenderungan bisa melemah. Paling tidak statement-nya kurang keras Pak Jokowi. Kalau bisa jangan sama dengan Pak SBY, kalau bisa lebih keras dari pak SBY dong," kata Yenti di Jakarta, Ahad (15/3).

Yenti pun membandingkan ketegasan pembasmian korupsi di era SBY dengan mantan walikota Solo ini. Menurut Yenti, pemberantasan korupsi pada zaman SBY jauh lebih tegas dan bahkan SBY berhasil menunjukan sikap konsistensinya dengan tidak melindungi para tersangka korupsi dalam pemerintahannya.

"Paling tidak Pak SBY menyatakan itu, katakan tidak pada korupsi, ya kan ada dan kemudian Pak SBY juga mendapat, walaupun orang-orang partainya terlibat korupsi, pak SBY kan menunjukan sikap konsistensinya dia, bahwa dia tidak melindungi," terang Yenti.

Ketidaktegasan Jokowi dalam memberantas korupsi ini pun justru mendapat banyak perhatian dari masyarakat. Sebab, masyarakat justru akan bertanya-tanya atas sikap Jokowi.

"Jadi tolonglah Pak Jokowi jangan takut bicara lebih tegas bicara pemberantasan korupsi, jangan takut, jangan ragu, silakan tegas pak Jokowi," kata Yenti.

Selain itu, Yenti juga menyoroti sikap pemerintah saat ini yang justru memanjakan para narapidana kasus korupsi. Terlebih dengan adanya wacana remisi untuk para narapidana yang dikeluarkan oleh Menkumham Yassona Laoly beberapa waktu lalu. "Sudah LP-nya khusus, terus sekarang bahwa remisi itu bisa seakan-akan bisa di apa ya.. pasti akan muncul obral remisi. Seakan-akan dijatah," jelas dia.

Seharusnya, lanjut Yenti, persyaratan pemberian remisi lebih diperketat serta penilaian kepatutan pemberian remisi terhadap narapidana kasus korupsi juga harus dipertimbangkan. Menurut dia, hukuman penjara bagi narapidana korupsi tidak hanya dilakukan untuk pembinaan, tetapi juga agar para pelaku jera.

"Karena orang dipenjara itu bukan hanya untuk dibina. Jadi tujuan lain yang lebih filosifis, yang harus diperhatikan oleh negara. Selain dibina mereka harus dijerakan, harus diasingkan," kata dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement