REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana Menkumham Yasonna Laoly yang akan meringankan persyaratan pemberian pengurangan hukuman (remisi) dinilai sebagai bentuk akal-akalan.
"Wacana itu hanya akal-akalan pemerintah untuk memberikan angin segar terhadap koruptor di Indonesia," kata Peneliti Hukum Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar kepada ROL, Senin (16/3).
Ia mengatakan, wacana tersebut menjadi bukti kalau ada perbedaan sikap dalam penegakkan hak azasi manusia (HAM) di Indonesia.
Hal itu terlihat ketika Menkumham tetap kukuh mengeksekusi mati Duo Bali Nine yang juga termasuk bentuk kejahatan luar biasa, seperti korupsi.
Padahal jika melihat hukuman Bali Nine, itu merupakan pelanggaran HAM. Karena hak untuk hidup adalah hak mendasar dalam HAM.
Selain itu, dengan sikap Laoly tersebut, terlihat kalau dia ingin merevisi Peraturan Pemerintah No.99 tahun 2012 yang mengatur bahwa koruptor tidak berhak mendapatkan revisi masa tahanan.
Sebelumnya, Yasonna berencana merevisi peraturan mengenai remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi. Dia menilai, pembatasan remisi terhadap narapidana korupsi tidak sesuai dengan prinsip pemasyarakatan.