REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor menilai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, memainkan standar ganda terkait kisruh PPP dan Golkar. Hal ini karena Yasonna dinilai cenderung pro pada kubu yang memihak pemerintah.
Firman mengatakan, hal ini bisa dilihat bagaimana cara dia mengambil sikap. Jika kubu pro pemerintah, maka Yasonna langsung merespon dengan cepat. Ini seperti pengesahan pada PPP kubu Romi dan juga Golkar kubu Agung Laksono yang dilakukan secara cepat.
"Coba bandingkan dengan PPP kubu Djan fariz ditolak saat mengajukan kepengurusan baru. Pun juga dengan Golkar kubu Ical yang diabaikan proses hukum yang sedang berjalan," jelasnya, Selasa (17/3).
Ia menyarankan harusnya Yasonna menahan diri untuk tak gegabah dalam mengambil keputusan. Sebab ini bisa mencederai proses hukum yang sedang berjalan. Disamping itu dengan cepatnya mengambil keputusan ini, semakin memperkuat citra kalau Menkumham memihak.
"Kubu pro KIH didukung dan kubu pro KMP diacuhkan. Ini namanya standar ganda," ujarnya.
Saat ini Golkar kubu Agung Laksono berada di atas angin. Ini dibuktikan dengan Putusan Menteri Hukum dan Ham (Menkumham), Yasonna Laoly agar segera membentuk kepengurusan baru golkar versi mereka.
Merespon hal ini, Golkar kubu Agung menyerahkan daftar kepengurusan yang baru pada Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham), Selasa (17/3). Dalam kepengurusan baru itu, kubu Agung hanya mengakomodasi 45 orang kubu Ical.
Di lain pihak PPP juga tak jauh berbeda dengan Golkar. Saat ini upaya PPP kubu Djan Fariz mengajukan kepengurusan baru ke Menkumham, ditolak mentah mentah. Padahal saat ini sudah ada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menyatakan kalau surat kemenkumham terkait PPP kubu Romi tidak sah.
Menkumham berdalih menolak pengajuan pengurus baru PPP kubu Djan Fariz karena saat ini sedang proses banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).