Kamis 19 Mar 2015 15:19 WIB

DPD: Hukum Indonesia Tumpul ke Atas

Rep: Niken Paramita Wulandari/ Red: Dwi Murdaningsih
Wakil Ketua DPD, Farouk Muhammad
Foto: DPD
Wakil Ketua DPD, Farouk Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPD, Farouk Muhammad, menilai mencuatnya kasus Nenek Asyani menujukkan penegakkan hukum di Indonesia lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Penetapan tersangka Nenek Asyani seolah ingin meyakinkan publik adanya konsistensi dalam menegakkan hukum.

"Dalam kenyataannya, ide penegakan hukum semacam itu seringkali tidak berhasil. Malah penegakan hukum seperti itu membenarkan bahwa hukum itu, lebih tajam kebawah tumpul keatas. Hukum hanya menjadi milik bagi kaum berpunya tidak bagi si miskin," kata Farouk, Kamis (19/3).

Karena itu menurutnya, cara-cara hukum seperti itu harusnya dirubah dengan mencari alternatif lain. Penyelesaian perkara pidana dilakukan dengan pendekatan peradilan restoratif. Dimana mekanisme ini memungkinkan adanya diskresi dari pihak penyidik yakni kepolisian. Atau mekanisme deponeering yang dimiliki oleh kejaksaan sebagai penuntut. Tujuannya agar beban bagi sistem pidana tidak terlalu berat. 

“Akhir-akhir ini kasus pidana ringan ini juga menunjukkan intensitas peningkatan. Seharusnya dalam menyikapi fenomena meningkatnya kasus-kasus seperti ini harus dipahami akar mulanya sebgian besar dari masalah sosial ekonomi. Fenomena ini, tidak saja menjadi tanggung jawab aparat penegak hokum melainkan menjadi tanggung jawab semua pihak untuk menanganinya," katanya.

Penegakan hukum terhadap orang lanjut usia ini juga, menurutnya, harus mengacu pada UU No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia khususnya Pasal 5 dan pasal 18 yang menjamin pelayanan khusus bagi lansia unutk layanan dan bantuan hokum. Termasuk Pemberian kemudahan layanan dan bantuan hukum dimaksudkan untuk melindungi dan memberikan rasa aman kepada lanjut usia. Termasuk layanan dan bantuan hukum di luar dan atau di dalam pengadilan.

Farouk mengatakan, kasus Nenek Asyani memperlihatkan penegakkan hukum seperti berjalan di ruang hampa. Penegak hukum tidak melihat motif dan latar belakang yang menjadi dasar sebuah tindakan pelanggaran. 

“Bercermin dari kasus-kasus seperti ini, ke depan kita perlu memikirkan kembali upaya-upaya penanganan kasus-kasus pidana yang dilakukan oleh warga miskin yang sifatnya mediasi dan preventif. Agar hak memperoleh keadilan sebagaimana dijaminkan oleh konstitusi bisa tercapai," ujarnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement