REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekolah gratis yang diperuntukan bagi anak jalanan dan kurang mampu di daerah Kuningan terancam digusur dalam waktu tiga bulan ke depan.
"Kami mendapatkan surat peringatan untuk meninggalkan lokasi ini sejak tahun lalu dan dalam tiga bulan mendatang harus sudah dikosongkan," kata Koordinator Pengelola lembaga pendidikan gratis tersebut yang bernama Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA) Agus Supriyanto di Jakarta, Kamis (19/3).
Dari keterangannya, sekolah tersebut telah berjalan sekitar 14 tahun dan menempati sebidang taman di lahan Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Pemprov DKI Jakarta yang mengaku akan direnovasi total.
Agus juga menjelaskan awalnya keberadaan SAAJA di lokasi tersebut merupakan posko pengungsian ketika bencana banjir di Jakarta sekitar tahun 2001-2002 yang diinisiasi oleh Aktivis LSM yang juga pendiri Government Watch (Gowa) Alm. Farid Faqih.
Seiring perkembangan waktu posko tersebut difungsikan sebagai sekolah gratis bagi anak jalanan dan miskin di sekitar Plaza Festival yang dulunya adalah supermarket dengan meningkatkan bangunan tenda menjadi semi permanen dan dikelola oleh LSM Pemberdayaan Rakyat Miskin (Param).
"Kami bangun gubuk ini di sini sebagai sekolah, awalnya posko banjir pakai tenda. Kami hanya mengfungsikan lahan ini sebagai sekolah dan saya garis bawahi tidak ada perusakan atau hal yang mengganggu daya serap lahan ini," ujarnya.
Atas rencana penggusuran tersebut, pihak SAAJA mengharapkan pihak Pemprov mempertimbangkan semangat pendidikan siswanya sebelum melakukan penggusuran, namun jika memang harus dipindahkan dia meminta pemerintah daerah mencari tempat alternatif yang lokasinya masih di sekitar taman Diklat DKI tersebut.
"Kami harap Pemprov mempertimbangkan semangat anak-anak di sini sebelum menggusur. Namun jika harus dipindahkan saya meminta ada solusi tempat dan lokasi alternatif yang masih di sekitar sini agar akses dari anak-anak tidak terputus," ujarnya.
Agus juga mengatakan dirinya sudah sudah meminta waktu mediasi pada Gubernur untuk memberikan solusi karena ini menyangkut anak didik yang akan menjadi korbannya. Namun hingga sekarang belum ada tanggapan dari Pemprov.
"Tidak harus gubernur kok, bisa saja stafnya dan yang terkait untuk memberikan solusi atas permasalahan ini," ujarnya.
Agus mengatakan saat ini di tempatnya tersebut ada sekitar 70 anak dengan tingkat usia dari TK hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang setiap hari mengikuti kegiatan di SAAJA. Namun jika penggusuran tersebut terjadi, dirinya menyebutkan anak-anak tersebut akan putus sekolah.
"Anak-anak di sini berasal dari keluarga tidak mampu, yang kebanyakan memang tidak memiliki identitas pribadi namun seharusnya anak tidak boleh menjadi korban dari sistem. Karena Undang-Undang juga mengamanatkan bahwa anak miskin harus menjadi tanggungan negara. Maka sudah seharusnya pemerintah memperhatikan mereka," katanya.