REPUBLIKA.CO.ID, YERUSSALEM -- Ini adalah misteri bagi banyak pihak, kampanye Benjamin Netanyahu mendapatkan banyak dukungan ketika mengesampingkan pembentukan negara Palestina dan ia tampaknya bertekad untuk tetap melanjutkan kependudukan Yahudi di sana.
Berikut beberapa hal yang membantu partai Netanyahu, Likud meraih 30 kursi dari 120 kursi di parlemen dan pihak tampaknya bersedia untuk kembali:
TEPI BARAT BERHARGA, DAERAH TERANCAM
Sangat sedikit warga Israe yang melihat kependudukan negaranya di Tepi Barat selama 48 tahun itu sebagai kesombongan nasionalis, sikap serakah dan anti-Palestina, meskipun cerita itu telah beredar di seluruh dunia.
Dari perspektif Palestina, gabungan Tepi Barat dan Jalur Gaza hanya sekitar seperlima dari wilayah Palestina sesungguhnya. Tapi apa yang dilihat Israel adalah perbatasan pra-1967 itu merupakan garis gencatan senjata sejak 1948-1949. Tanpa Tepi Barat, Israel hanya seluas 15 kilometer.
Dataran tinggi strategis itu membayangi kota-kota Israel, terlihat saat cuaca cerah dari pinggiran Tel Aviv dan tiga sisi Yerussalem. Mereka takut jika tentara mereka dibersihhkan bukan oleh moderat damai Palestina melainkan kekuatan yang lebih mengancam, Hamas. Hamas sempat mengambil alih jalur Gaza setelah Israel menyerahkannya pada Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas pada 2005 lalu.
Fakta bahwa eksploitasi Netanyahu tampaknya lebih berbahaya dibanding isu militan ISIS yang mengancam wilayah tersebut.
PERDAMAIAN SEPERTINYA TIDAK MUNGKIN
Pemerintah Israel dalam beberapa kesempatan telah menawarkan Palestina kenegaraan di tepi barat dan Gaza. Seperampat abad negosiasi sia-sia itu berasal dari penolakan Israel untuk menerima kembali pengungsi Palestina dan keturunan mereka yang mencapai jumlah jutaan.
Karena begitu sedikitnya pikiran untuk damai, oposisi lari dari masalah ini. Jika terpilih mereka mungkin menawarkan berbagai konsesi, seperti penarikan sepihak dari beberapa daerah, dorongan untuk kesepakatan interim yang saat ini Palestina tolak untuk renungkan, dan juga pembekuan pemukiman.
FAKTOR SUKU
Retaknya politik Israel meninggalkan sedikit ruang untuk manuver. Melihat peta pemilu, menunjukkan proporsi besar parlemen yang hampir dijamin untuk kepentingan sektarian dan etnis. Lebih dari sepertiga dari parlemen baru akan ditempati oleh pihak yang menargetkan kelompok tertentu dan memiliki suara namun tidak ada hubungannya dengan masalah Palestina seperti Arab Israel, imigran Rusia, tradional-cenderung Yahudi Sephardic dan berbeda dari naungan Yahudi.
Selain itu, partai-partai besar yang secara teoritis berdiri untuk ideologi juga menarik bagi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Terutama dari partai Likud yang memiliki basis sangat setia di antara pekerja Israel yang berasal dari dunia Arab dan cenderung hawkish.
Mereka tampaknya masih membenci pembentukan kiri yang didirikan Israel untuk penerimaan mereka sebagai imigran setengah abad lalu. Banyak di antara mereka menyebut partai sebagai 'rumah' yang ada 'dalam darah kita' dan tidak dapat dibayangkan menjadi 'pengkhianat'. Selain itu, sektor agama dan sekutu dengan pihak kanan, mereka juga memiliki angka kelahiran tertinggi di negara tersebut sehingga dapat diharapkan secara otomatis mendulang suara.
RAJA BIBI
Netanyahu yang populer dipanggil Bibi memiliki kemampuan kampanye menakjubkan. Ia tidak hanya menyampaikan apa yang diperlukan agar dipilih tapi juga merasa nyaman dengan semua itu. Pada minggu terakhir kampanyenya, ia menyadari bahwa persepsi kemenangan akan lebih bergantung pada partainya, jadi ia mengambil suara dari sekutu nasionalisnya, he Jewish Home.
Pada Selasa, banyak warga Israel terkejut dengan peringatan mengerikan bila warga Israel keturunan Arab akan mendatangi tempat pemungutan suara. Sebab, beberapa hari sebelumnya, ia mendengar adanya ancaman konspirasi internasional yang berkumpul untuk menggulingkan Netanyahu.
Ia dengan penuh semangat menyatakan bahwa jika terpilih kembali tidak akan membiarkan adanya negara Palestina. Ia juga bergerak efektif dengan terbang ke AS. Dua pekan lalu di Capitol Hill, ia menentang kesepakatan nuklir yang datang antara Presiden AS, Barack Obama dan Iran.