REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Muzzakir, menyatakan tak sepakat dengan ide pemberian bonus bagi orang membantu mengungkap kasus korupsi. Baginya, ini akan membuat publik jadi membisniskan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Muzzakir menyatakan ide ini sangat tidak tepat. Dia menyebutkan ini akan membawa orang berlomba lomba untuk mencari keuntungan dari hal ini. Yakni, pemberantasan korupsi akan menjadi lahan bisnis bagi publik.
''Pada sisi ini, derajat pemberantasan korupsi menjadi terdegradasi,” ujar dia, Kamis (19/3).
Belum lagi terkait pengawasan praktik kebijakan ini di lapangan. Dirinya menakutkan akan terjadi pemerasan jika kebijakan ini jadi diterapkan.
''Bisa bisa orang jadi main ancam satu sama lain. Ujung ujungnya di sini bisa timbul pemerasan terkait kasus korupsi yang ada,” kata dia.
Saat ini, menurutnya, penegak hukum berfokus pada penyejahteraan saksi saksi. Dia menyatakan masih banyak saksi saksi di pengadilan belum mendapatkan pembiayaan. Misal untuk uang transpor saksi. Padahal, itu diatur di Undang Undang. “Jadi lebih baik fokus dulu pada yang kecil dulu. Jangan muluk muluk yang besar,” ujar dia.
Sebelumnya Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non aktif, Bambang Widjojanto, mengatakan perlu adanya revolusi mental dalam upaya pemberantasan korupsi. Salah satunya memberi bonus 20 persen bagi pihak yang berjasa dalam mengungkap koruptor. Dia menyatakan upaya pemberantasan korupsi harus melibatkan partisipasi publik agar lebih efektif.