REPUBLIKA.CO.ID, SAWAHLUNTO - Wali Kota Sawahlunto, Ali Yusuf, secara simbolis menerima koleksi buku bacaan milik seorang sastrawan dan salah satu tokoh wartawan Indonesia, Adinegoro, di Sawahlunto, Jumat malam (20/3).
Buku yang menjadi koleksi bacaan Adinegoro sejak tahun 1930 itu diserahkan oleh ahli waris yang merupakan putra keduanya, Adi Warsita. Ia mengatakan, buku-buku itu adalah koleksi milik orang tuanya semasa hidup yang sampai kini selalu dia rawat dengan baik.
"Buku tersebut ada yang berbahasa Belanda, bahasa Inggris dan bahasa Jerman, semuanya berumur cukup tua dan antik," ungkap dia. Bayangkan saja, jelas dia, pada tahun 1930 itu Adinegoro masih sangat muda, tapi ia sudah membaca buku-buku berbagai ilmu pengetahuan dalam tiga bahasa asing.
"Sementara di masa sekarang, banyak anak-anak lebih suka membaca komik dan tidak menguasai bahasa asing," ujarnya. Ia mengatakan, kenyataan itulah yang membuatnya tergugah untuk menyerahkan koleksi buku milik Adinegoro itu pada Pemerintah Kota (Pemkot) Sawahlunto, sebagai kota kelahiran orang tuanya di Talawi, 14 Agustus 1904.
"Agar tren menciptakan manusia-manusia berkualitas, seperti Adinegoro dan Muhammad Yamin, bisa berlanjut di kota ini," kata dia.
Sementara itu, Wali Kota Sawahlunto, Ali Yusuf mengatakan, Adinegoro merupakan salah satu putra terbaik yang pernah ada di kota itu. "Sebagai seorang yang berjiwa nasionalis dan menjunjung tinggi kebenaran dalam setiap tulisannya, Adinegoro pantas dijadikan panutan bagi generasi sekarang dan akan datang," katanya.
Adinegoro memiliki nama lengkap Djamaluddin Adinegoro, terkadang dieja Adi Negoro dengan gelar Datuak Maradjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan dan tokoh sekaligus pejuang konstitusi, Muhammad Yamin.
Adinegoro sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman dan mendalami ilmu jurnalistik. Ia memang lebih dikenal sebagai wartawan daripada sastrawan, dan pernah memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan pada tahun 1932 sampai 1942.
Ia juga pernah memimpin Sumatra Shimbun selama dua tahun. Kemudian, bersama Prof. Dr. Supomo, memimpin majalah Mimbar Indonesia pada tahun 1948 sampai tahun 1950, sebelum ia memimpin Yayasan Pers Biro Indonesia di tahun 1951. Terakhir, ia bekerja di Kantor Berita Nasional yang kemudian menjadi LKBN Antara sampai akhir hayatnya. Beliau wafat di Jakarta 8 Januari 1967 pada umur 62 tahun.
Nama Adinegoro juga diabadikan sebagai hadiah jurnalistik tertinggi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sejak 1974 dan kini diberikan untuk enam kategori penilaian yaitu berita berkedalaman untuk media cetak, berita ringan untuk televisi dan radio, berita foto, karikatur serta tajuk rencana yang diselenggarakan setiap tahun.