REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang pemberian remisi dan pembebasan bersyarat dinilai mendiskriminasi narapidana tindak pidana khusus yang seharusnya juga berhak mendapatkan remisi.
“Pendiskriminasian itu melanggar hak dasar narapidana sebagai manusia seutuhnya, yang berhak mendapatkan pembinaan dari lembaga pembinaan (LP). Tujuan dari LP itu untuk membina, bukan untuk balas dendam, atau menghukum orang," ujar Wakil Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Sugeng Teguh Santoso, Sabtu (21/3).
Sugeng menjelaskan, adanya campur tangan dari instansi lain, seperti kejaksaan dan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menimbulkan tumpang tindih kewenangan suatu lembaga yang berhak memberikan remisi.
Pemberian remisi diberikan kepada seluruh narapidana, tidak terkecuali narapindana tindak pidana khusus, seperti koruptor dan termasuk teroris.
"Semua orang mendapatkan persamaan hak di depan hukum," kata dia.
Dia menjelaskan ada tiga hal yang harus diperbaiki dalam PP Nomor 99 Tahun 2012, yakni tidak boleh adanya diskriminasi, tidak bertentangan dengan undang-undang, dan tidak adanya tumpang tindih dalam suatu kelembagaan.